Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

An Inventory Of Losses

Tentang Memori dan Kehilangan Abadi

1 Pembaca
Rp 90.000 30%
Rp 63.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 189.000 13%
Rp 54.600 /orang
Rp 163.800

5 Pembaca
Rp 315.000 20%
Rp 50.400 /orang
Rp 252.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Mengapa baru ketika sesuatu hilang untuk selamanya, kita merasakan betapa besar artinya bagi kita? Mengapa sesuatu yang ditutup-tutupi - entah dalam sejarah sebuah bangsa atau dalam keluarga sendiri bisa berdampak begitu besar? Mengapa saya tidak bisa membuang apa pun? dan mengapa hewan yang telah punah, lukisan yang dirusak, dan buku yang dibakar terasa jauh lebih menarik dan lebih memesona dibandingkan seluruh sisanya yang masih ada? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan keinginan dalam diri saya untuk menyusun semacam inventaris kehilangan, sebuah daftar mengenai hal-hal yang kita tahu pernah ada, tetapi kemudian lenyap entah karena sengaja dimusnahkan atau karena menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu.

Sebab sesuatu yang hilang-apakah orang yang disayangi atau seikat kunci akan meninggalkan ruang realitas dan memasuki ruang mitos, berubah dari sesuatu yang faktual menjadi hal yang fiktif. Lalu muncullah peran bercerita, semua kisah dan anekdot yang membuat duka cita menjadi lebih tertahankan. Sebab bercerita itu membantu. Bercerita adalah pelipur lara terbaik dan pengalaman kehilangan, saya mendadak menyadari, adalah awal dari semua budaya. Sebuah buku, menurut hemat saya, adalah terbaik dan terindah untuk menyimpan sesuatu. Buku seperti itulah yang ingin saya tulis dan rancang. Sebuah buku yang mengumpulkan dan menceritakan berbagai hal yang saya rindukan. Sebuah buku duka dan penghiburan. Buku yang menyoroti bukan hanya kehilangan, tetapi juga yang perolehan. Sebab tidak ada yang dapat dihadirkan kembali, namun segala sesuatu dapat dibuat agar bisa dialami lagi.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Judith Schalansky

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339913
Terbit: April 2021 , 316 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Mengapa baru ketika sesuatu hilang untuk selamanya, kita merasakan betapa besar artinya bagi kita? Mengapa sesuatu yang ditutup-tutupi - entah dalam sejarah sebuah bangsa atau dalam keluarga sendiri bisa berdampak begitu besar? Mengapa saya tidak bisa membuang apa pun? dan mengapa hewan yang telah punah, lukisan yang dirusak, dan buku yang dibakar terasa jauh lebih menarik dan lebih memesona dibandingkan seluruh sisanya yang masih ada? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan keinginan dalam diri saya untuk menyusun semacam inventaris kehilangan, sebuah daftar mengenai hal-hal yang kita tahu pernah ada, tetapi kemudian lenyap entah karena sengaja dimusnahkan atau karena menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu.

Sebab sesuatu yang hilang-apakah orang yang disayangi atau seikat kunci akan meninggalkan ruang realitas dan memasuki ruang mitos, berubah dari sesuatu yang faktual menjadi hal yang fiktif. Lalu muncullah peran bercerita, semua kisah dan anekdot yang membuat duka cita menjadi lebih tertahankan. Sebab bercerita itu membantu. Bercerita adalah pelipur lara terbaik dan pengalaman kehilangan, saya mendadak menyadari, adalah awal dari semua budaya. Sebuah buku, menurut hemat saya, adalah terbaik dan terindah untuk menyimpan sesuatu. Buku seperti itulah yang ingin saya tulis dan rancang. Sebuah buku yang mengumpulkan dan menceritakan berbagai hal yang saya rindukan. Sebuah buku duka dan penghiburan. Buku yang menyoroti bukan hanya kehilangan, tetapi juga yang perolehan. Sebab tidak ada yang dapat dihadirkan kembali, namun segala sesuatu dapat dibuat agar bisa dialami lagi.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Pada suatu hari di bulan Agustus beberapa tahun silam, saya mengunjungi sebuah kota di kawasan Utara. Kota itu terletak di ujung teluk sempit yang sejak salah satu zaman es dahulu menjangkau jauh ke tengah daratan. Perairan payau tersebut menjadi tempat tinggal ikan haring di musim semi, ikan sidat di musim panas, ikan kod di musim gugur, dan ikan karper, tombak serta bream di musim dingin, sehingga sampai sekarang profesi nelayan masih ditekuni di sana.

Para nelayan itu beserta keluarga masing-masing sudah berabad-abad lamanya tinggal di sebuah dusun yang indah bagaikan lukisan, yang terdiri dari dua jalan berlapis batu, tempat menjemur jala, dan sebuah biara yang hanya dihuni oleh sepasang wanita tua berdarah bangsawan. Pendek kata, ini sebuah dusun yang seakan-akan dilupakan oleh waktu, tempat orang sangat mudah tergoda untuk menganggap bahwa masa lalu yang samar namun memikat masih berlanjut hingga kini.

Akan tetapi bukan mawar perdu yang tengah berbunga atau pun tanaman malva yang tinggi di depan bangunan-bangunan rendah yang dilabur putih yang paling membekas dalam ingatan saya, bukan pula pintu-pintu yang dicat warna-warni atau pun gang-gang sempit di antara rumahrumah yang sebagian langsung menuju ke tepi laut yang berbatubatu, melainkan kejanggalan bahwa yang saya jumpai di pusat desa itu bukanlah pasar, tetapi tempat pemakaman, dinaungi oleh pohon-pohon saru muda berdaun hijau segar dan dikelilingi oleh pagar dari besi cor; bahwa justru di tempat yang biasanya menjadi ajang penukaran barang dengan uang, jasad-jasad di dalam tanah melakukan apa yang karena takhayul yang sulit diberantas lazim disebut ‘beristirahat’.

Saya sungguh heran, dan keheranan saya itu, yang semula saya sangka sebagai kegelisahan, kian menjadi ketika saya ditunjukkan rumah seorang perempuan, yang sambil memasak di dapurnya dapat memandangi makam putranya yang mati muda, dan saya menyadari bahwa berkat tradisi berusia ratusan tahun dari gilda kematian yang mengatur ritus penguburan di sini, anggota keluarga yang masih hidup dapat tetap berdekatan dengan mereka yang telah meninggal, suatu tatanan yang hingga kini hanya saya kenal dari para penghuni sejumlah pulau di Pasifik.

Tentu saja sebelum itu saya sudah pernah mengunjungi tempat pemakaman luar biasa lainnya: pulau kuburan San Michele, misalnya, yang dengan tembok bata merahnya yang tinggi menyembul dari air berwarna hijau kebiruan di Laguna Venesia menyerupai benteng yang tidak mungkin direbut, atau Hollywood Forever Cemetery dengan suasananya yang hiruk pikuk bagai pasar malam pada perayaan Día de los Muertos yang setiap tahun diadakan oleh warga keturunan Meksiko, dengan makam-makam berhiasan jingga-hijau, dan tengkorak dari campuran gula dan bubur kertas warna-warni, yang ditakdirkan untuk terus meringis akibat proses pembusukan yang semakin berlanjut.

Namun tidak ada yang membuat saya tersentuh seperti tempat pemakaman di desa nelayan itu, dengan bentuk denahnya semacam kompromi antara lingkaran dan bujur sangkar yang bagi saya tidak lain tidak bukan bagaikan simbol untuk utopia luar biasa yang saya lihat terwujud di sana: hidup dengan kematian di depan mata. Lama saya meyakini bahwa di tempat ini, yang memiliki nama yang dalam bahasa Denmark bermakna ‘pulau kecil’ atau ‘dikelilingi air’, orang lebih dekat dengan kehidupan justru karena para penghuninya secara harfiah membawa mereka yang telah meninggal ke tengah-tengah komunitas, bukannya seperti yang lazim di kawasan kita membuang mereka dari jantung permukiman ke depan gerbang kota, sekali pun tempat pemakaman tersebut sering kali tidak lama berselang telah diserobot kembali oleh ruang urban yang terus tumbuh tidak terkendali.

Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Prakata
Pendahuluan
Tuanaki
Harimau Kaspia
Unikorn Guericke
Villa Sacchetti
Pemuda berbaju biru
Kidung cinta sapfo
Puri wangsa von behr
Ketujuh kitab (nabi) mani
Pelabuihan greifswald
Ensiklopedia di hutan
Istana Republik
Peta bulan kinau
Daftar Tokoh
Daftar Gambar dan Sumber
Tentang Penulis
Tentang Penerjemah