Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Nilai-Nilai Sosial Budaya dalam Industri Perkapalan Rakyat

1 Pembaca
Rp 75.000 30%
Rp 52.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 157.500 13%
Rp 45.500 /orang
Rp 136.500

5 Pembaca
Rp 262.500 20%
Rp 42.000 /orang
Rp 210.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Keberadaan pelayaran rakyat di Indonesia penting untuk dipertahankan, mengingat kondisi geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dan tidak semua perairan dapat dilewati kapal besar. Pelayaran rakyat selain terbukti telah berkontribusi pada interaksi budaya kelompok-kelompok masyarakat dari wilayah yang berbeda, juga telah berfungsi sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat di pulau-pulau kecil untuk mendistribusikan barang dan jasa, termasuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Untuk mendukung pelayaran rakyat, keberadaan industri kapal rakyat perlu diperhatikan, karena industri kapal rakyat bukan hanya sebagai pendukung terwujudnya pelayaran rakyat, melainkan juga sebagai pendukung kelestarian budaya martim. Hal itu karena banyak nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalam pembuatan kapal rakyat, antara lain terwujud pada ritual-ritual yang harus dilakukan, mulai saat persiapan sampai dengan peluncuran kapal. Ritual-ritual itu menggambarkan harapan dari pembuat kapal, agar kapal yang dibuat dapat memberi keberkahan bagi pemiliknya. Selain itu, pembuatan kapal tradisional juga sarat dengan nilai-nilai kerja sama, kerja keras, ketelitian, keindahan dan penghargaan terhadap lingkungan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Sudiyono / Masyhuri Imron

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339470
Terbit: Desember 2020 , 152 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Keberadaan pelayaran rakyat di Indonesia penting untuk dipertahankan, mengingat kondisi geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dan tidak semua perairan dapat dilewati kapal besar. Pelayaran rakyat selain terbukti telah berkontribusi pada interaksi budaya kelompok-kelompok masyarakat dari wilayah yang berbeda, juga telah berfungsi sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat di pulau-pulau kecil untuk mendistribusikan barang dan jasa, termasuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Untuk mendukung pelayaran rakyat, keberadaan industri kapal rakyat perlu diperhatikan, karena industri kapal rakyat bukan hanya sebagai pendukung terwujudnya pelayaran rakyat, melainkan juga sebagai pendukung kelestarian budaya martim. Hal itu karena banyak nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalam pembuatan kapal rakyat, antara lain terwujud pada ritual-ritual yang harus dilakukan, mulai saat persiapan sampai dengan peluncuran kapal. Ritual-ritual itu menggambarkan harapan dari pembuat kapal, agar kapal yang dibuat dapat memberi keberkahan bagi pemiliknya. Selain itu, pembuatan kapal tradisional juga sarat dengan nilai-nilai kerja sama, kerja keras, ketelitian, keindahan dan penghargaan terhadap lingkungan.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Status sebagai negara kepulauan (archipelago state) sebagaimana telah dikukuhkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 (Sudirman Saad, 2003, 80),1 Indonesia memiliki satu wilayah teritorial yang tidak terpisahkan, sebagaimana dimuat dalam Ketetapan MPRS No. IV tahun 1978 tentang Wawasan Nusantara yang meliputi satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial, dan satu kesatuan pertahanan keamanan (Sudjono, 1982).

Dalam posisi sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki posisi yang strategis, karena secara geografis wilayah Indonesia diapit oleh dua benua yakni Benua Asia dan Australia, dan berada di antara dua samudra, yakni Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Posisi geografis yang strategis tersebut telah dimanfaatkan oleh negara-negara lain sebagai sebagai jalur lintasan perdagangan dunia. Sebesar 70% lebih barang-barang perdagangan dunia dimuat dengan kapal melintasi perairan Indonesia.

Potensi laut yang begitu besar (berupa potensi perikanan, hutan mangrove, terumbu karang dan tambang), letak geografis yang strategis, besarnya aktivitas perdagangan dunia yang melintasi perairan Indonesia, serta kejayaan sejarah maritim Nusantara, telah melahirkan ide besar Poros Maritim Dunia yang dicetuskan oleh pasangan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Kejayaan maritim Nusantara pada zamannya, seperti di Aceh, Banten, Demak, Ternate, Makassar, bahkan Sriwijaya dan Majapahit, semuanya diraih dengan dukungan armada laut yang kuat. Hal ini dimungkinkan karena penguasaan teknologi pembuatan kapal dan penguasaan pengetahuan navigasi. Kecanggihan teknologi pembuatan kapal membuat decak kagum para penjelajah bangsa Barat.

Cerita tentang kehebatan Kapal Cakra Donya dari Aceh di awal abad XV, dilukiskan oleh Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, juga oleh sejarawan Spanyol Manuel De Faria Y. Sausa (1590-1649), yang melukiskan tentang kekaguman laksamana dari Perancis bernama De Beauleau dengan kata-katanya: “Betapa mulianya, betapa kuatnya, betapa indahnya, dan betapa kayanya”.

Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini. Kapal perang Cakra Donya dengan ukuran panjang 100 m, berkapasitas 400 penumpang dilengkapi dengan 100 senjata meriam, sungguh kapal yang berukuran sangat besar pada zamannya (Kompas, 4 Februari 2017).

Pengakuan terhadap kemampuan penguasaan teknologi perkapalan di Jawa juga ditunjukkan oleh Albuquerque ketika akan pulang dari Malaka pada tahun 1512 ke negerinya, yaitu Portugis, dengan membawa tukang pembuat kapal sejumlah 60 orang (MeilinkRoelofsz, 1962). Tidak diketahui secara pasti lokasi galangan kapal tempat para tukang tersebut bekerja, karena Albuquerque tidak menunjukkan tempatnya secara pasti, kecuali di Jawa.

Meskipun demikian, orang Belanda yang pertama-tama datang ke Indonesia memberitahukan bahwa lokasi galangan kapal tersebut berada di Lasem, di antara pelabuhan-pelabuhan terkenal seperti Tuban dan Jepara, yang letaknya dekat dengan hutan jati di Rembang (Lapian, 2008). Industri galangan kapal lainnya yang terkenal dalam pembuatan kapal pada abad XIX adalah Pulau Kei yang mengekspor produk kapalnya ke Maluku (Lapian, 2008:36).

Tempat lain yang dikenal dengan industri kapal rakyat adalah Bagan Siapi-api, yang dalam perkembangannya pada tahun 1990-an akhir mengalami kemunduran. Beberapa lokasi yang dihuni oleh komunitas maritim juga masih dapat dijumpai para pengrajin kriya pembuatan kapal rakyat seperti di Cirebon, Indramayu, Madura, dan Bulukumba.

Kebesaran dunia maritim Nusantara juga telah meninggalkan jejaknya dalam bentuk penggunaan simbol kapal pada kain batik Lampung, berbagai ritus di seputar kehidupan manusia. Simbol kapal juga hadir pada masyarakat Melayu dalam bentuk vas tempat sirih, bentuk-bentuk bubungan rumah Toraja, dan berbagai upacara serta tarian adat.

Pada masyarakat Bugis misalnya, ada sebuah pandangan yang menyamakan aktivitas pembuatan kapal dengan pembuatan rumah (MacKnight and Mukhlis, 1979:279). Simbol-simbol kapal yang hadir dalam berbagai aktivitas manusia sebagaimana diungkapkan oleh Y ves Manguin (2012), sejauh pemahaman penulis, tidak banyak mengungkapkan apa makna di balik penggunaan simbol kapal tersebut.

Dalam perjalanan sejarah perkapalan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak mempersiapkan pendidikan tinggi berorientasi maritim di Indonesia. Akibatnya, hasil studi tentang kapal-kapal tradisional Nusantara serta sejarah maritim Nusantara relatif terbatas.

Pendidikan teknik perkapalan yang ada, terutama di ITS Surabaya dan Universitas Patimura di Ambon, sangat dipengaruhi oleh literatur dan rujukan dari USSR. Perhatian pada kapal-kapal tradisional hanya disajikan pada mata kuliah kapal non-baja secara terbatas. Lemahnya perhatian pada pendidikan ilmu pelayaran dan tehnik perkapalan tradisional di Indonesia, sedikit banyak turut berkontribusi terhadap perkembangan teknik perkapalan dan pelayaran rakyat (Rosyid, 2017).

Narasi tentang kejayaan sejarah maritim Nusantara itulah yang diduga telah melahirkan ide besar Poros Maritim Dunia. Ide tersebut telah menyedot perhatian banyak pihak, walaupun sebagian besar belum tahu seperti apa persisnya yang dimaksud dengan “Poros Maritim Dunia”, serta bagaimana cara mencapainya. Meskipun demikian, wacana itu seolah-olah telah menyihir banyak pihak dan mereka merasa siap untuk mendukung demi mewujudkan gagasan tersebut.

Daftar Isi

Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Bab I: Pendahuluan
     1. Posisi Gografis dan Kebesaran Maritim Nusantara
     2. Urgensi Pelayaran Rakyat di Indonesia
     3. Revitalisasi Pelayaran Rakyat dan Permasalahannya
Bab II: Konsep Pelayaran Rakyat
     1. Definisi Pelayaran Rakyat
     2. Budaya Maritim dan Pelayaran Rakyat
Bab III: Pembuatan Kapal Rakyat di Pagatan, Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan)
     1. Lokasi Pembuatan Kapal Rakyat di Tanah Bumbu
     2. Rancang Bangun Pembuatan Kapal Rakyat
     3. Nilai Sosial Budaya di Balik Tradisi Pembuatan Kapal Rakyat
     4. Sistem Organisasi Pembuatan Kapal Rakyat
     5. Stratifikasi Sosial Komunitas Tukang Kapal
     6. Keberadaan Orang Ara dalam Pembuatan Kapal di Batulicin
Bab IV: Pembuatan Kapal Rakyat di Bulukumba (Sulawesi Selatan)
     1. Sekilas tentang Desa Asal Komunitas Pembuat Kapal Pinisi
     2. Persebaran Pembuatan Kapal
     3. Aspek Fisik Pembuatan Kapal
     4. Perubahan Teknologi Pembuatan Kapal
     5. Organisasi Kerja Pembuatan Kapal
     6. Nilai Sosial Budaya dalam Pembuatan Kapal
     7. Ritual dalam Pembuatan Kapal
Bab V: Penutup
Daftar Pustaka
Indeks
Biodata Penulis