Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Sudah Senja di Jakarta

Ideologi, Kebijakan Publik, Politik dan Ruang Ibu Kota

1 Pembaca
Rp 120.000 30%
Rp 84.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 252.000 13%
Rp 72.800 /orang
Rp 218.400

5 Pembaca
Rp 420.000 20%
Rp 67.200 /orang
Rp 336.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Dari 1945 sampai awal 1998 Jakarta pada dasarnya adalah manifestasi dari visi dan ideology Sukarno dan Suharto. Sukarno menjadikan Jakarta sebagai semacam sebuah deklarasi tentang dekolonisasi dari sebuah negara-bangsa baru yang pantas dihormati dalam percaturan dunia. Tapi ke dalam ia juga ingin Jakarta menjadi symbol dari perjuangan dan persatuan nasional merebut kemerdekaanSukarno tidak ingin bangsa Indonesia ketinggalan zaman dalam percaturan internasional tapi sekaligus menginginkannya tetap meimiliki identitas yang khas miliknya. Jakarta di matanya harus menjadi mercusuar kota-kota lain di Indonesia, sekaligus mercusuar peradaban umat manusia.

Suharto membangun Jakarta dengan dengan bisinya untuk membangun perekonomian nasional dan wawasan budaya tradisional Jawa. Yang ingin dicapainya terutama adalah pertumbuhan ekonomi.Visi terbesarnya adalah membawa Indonesia tinggal alndas menjadi negara makmur. Maka Jakarta dijadikannya contoh bagi wilayah-wilayah lain tentang pembangunan yang menghasilkan kemakmuran ekonomis, paling tidak bagi segelintir elite di lingkungan kekuasaannya, yang muncul sejajar dengan ketidakbebasan atau represi politik bagi kalangan di luarnya.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Hikmat Budiman

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339517
Terbit: Desember 2020 , 460 Halaman










Ikhtisar

Dari 1945 sampai awal 1998 Jakarta pada dasarnya adalah manifestasi dari visi dan ideology Sukarno dan Suharto. Sukarno menjadikan Jakarta sebagai semacam sebuah deklarasi tentang dekolonisasi dari sebuah negara-bangsa baru yang pantas dihormati dalam percaturan dunia. Tapi ke dalam ia juga ingin Jakarta menjadi symbol dari perjuangan dan persatuan nasional merebut kemerdekaanSukarno tidak ingin bangsa Indonesia ketinggalan zaman dalam percaturan internasional tapi sekaligus menginginkannya tetap meimiliki identitas yang khas miliknya. Jakarta di matanya harus menjadi mercusuar kota-kota lain di Indonesia, sekaligus mercusuar peradaban umat manusia.

Suharto membangun Jakarta dengan dengan bisinya untuk membangun perekonomian nasional dan wawasan budaya tradisional Jawa. Yang ingin dicapainya terutama adalah pertumbuhan ekonomi.Visi terbesarnya adalah membawa Indonesia tinggal alndas menjadi negara makmur. Maka Jakarta dijadikannya contoh bagi wilayah-wilayah lain tentang pembangunan yang menghasilkan kemakmuran ekonomis, paling tidak bagi segelintir elite di lingkungan kekuasaannya, yang muncul sejajar dengan ketidakbebasan atau represi politik bagi kalangan di luarnya.

Pendahuluan / Prolog

Pengantar
Jakarta adalah teater demokrasi par excellence untuk Indonesia. Di sini mudah dijumpai variasi nilai dan perilaku politik dari warganya yang tersebar ke dalam spektrum ideologis yang cukup lebar, mulai dari spektrum yang paling tribalistik, konservatif, hingga ultra progresif. Berbeda dengan provinsi lain yang memiliki legislatif dan eksekutif di tingkat kabupaten/kota, di DKI Jakarta legislatif dan eksekutif hanya ada di tingkat provinsi. Dengan kata lain, Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kendali penuh terhadap lima wilayah kota dan satu kabupaten administrasi. Dalam konstruksi politik seperti ini, wajar apabila posisi Gubernur DKI Jakarta menjadi arena kontestasi yang sangat ketat sejak era pilkada langsung.

Pilkada Jakarta 2017 menjadi sebuah padang kurukshetra modern, sebuah arena ketika berbagai kekuatan resmi maupun underground dari kubu-kubu yang terbentuk berperang memperebutkan kemenangan yang sifatnya “the winner (almost) takes all.” Kemenangan dalam peperangan ini memiliki makna sebagai kesempatan untuk menulis ulang sejarah dan mereproduksi ulang justifikasi pragmatisme maupun caracara berpolitik Machiavellian, yang dalam banyak kesempatan dipertontonkan secara vulgar, penuh intimidasi dan disertai dengan mobilisasi ketakutan ( fear factor). Layaknya pertunjukan teatrikal, guratan maupun debat akan makna dari pertunjukan demokrasi tersebut akan terus diperbincangkan, bahkan setelah tutup layar, berganti episode dan pemain utamanya.

Buku Sudah Senja di Jakarta ini merupakan upaya kami untuk memberi kontribusi keilmuan pada kajian-kajian politik yang sudah ada. Secara teoretis, ia mencoba membuka ruang perdebatan tentang perilaku politik massa dan elite serta relasi di antara keduanya. Pada level massa misalnya, buku ini mencoba untuk mendiskusikan bagaimana cara pandang pemilih terhadap kebijakan publik yang terbentuk dan apakah cara pandang kebijakan ini dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti ideologi atau nilai-nilai politik mendasar dalam diri pemilih. Ini jelas kajian menarik karena faktor sosio-psikologis ini sering kali menjadi salah satu determinan penting perilaku politik. Bahkan salah satu mazhab besar dari studi perilaku politik, Michigan School, sengaja memfokuskan kajiannya pada variabel sosio-psikologis.

Sudah Senja di Jakarta juga memberikan kontribusi empiris bagi studi partisipasi masyarakat dalam berbagai isu kebijakan publik. Beberapa studi kasus kebijakan publik yang dianalisa dalam tulisan ini memiliki implikasi teoretis pada studi mengenai partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, terutama pada kaitan antara tingkat dan bentuk partisipasi dengan isu kebijakan. Misalnya, apakah isu kebijakan mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengawasan kebijakan publik.

Jika isu berpengaruh, isu seperti apa yang mempengaruhi tingkat partisipasi ini. Juga apakah variasi isu kebijakan juga mempengaruhi variasi bentuk partisipasi pengawasan publik. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan teoretis menarik yang dapat dikembangkan pada studi-studi empiris di masa yang akan datang. Ini dapat pula menjadi suatu agenda penelitian (research agenda) besar dengan pendekatan induktif yang tentu saja memberikan kontribusi besar bagi studi kebijakan publik di Indonesia.

Pada level elite, buku ini juga memberikan pemahaman bagi kita mengenai strategi kebijakan yang diambil oleh para elite. Sebagai politisi, seorang pemimpin membuat kebijakan tidak semata-mata berdasarkan analisis cost effectiveness, namun juga pada seberapa besar efek kebijakan yang dibuat memberikan keuntungan elektoral yang memungkinkan mereka tetap berkuasa. Meskipun analisis ini mungkin sudah jamak dilakukan para peneliti, belum banyak yang melakukan analisis kasus secara mendalam. Karena itu, beberapa analisis yang dilakukan dalam buku ini bisa memberikan kontribusi menarik bagi studi strategi kebijakan elite. Secara teoretis, misalnya, studi-studi empiris yang dilakukan dalam buku ini bisa membantu kita mengembangkan agenda riset mengenai variasi strategi kebijakan elite dan determinan dari variasivariasi ini.

Terakhir, kajian-kajian ilmiah dalam buku ini membawa kita pada sebuah puzzle tentang bagaimana relasi antara persepsi publik dengan pilihan kebijakan elite. Dalam banyak studi terlihat bahwa relasi dua variabel kunci ini sering kali satu arah yakni kebijakan diambil karena tekanan publik. Padahal, dalam kenyataannya bagaimana cara publik menilai sebuah kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh framing dan priming elite akan kebijakan itu. Dengan kata lain, ada relasi konstitutif antara selera publik (public mood) dengan pilihan kebijakan yang diambil elite. Meskipun belum ada satu kajian mendalam tentang relasi konstitutif yang dibahas dalam buku ini, topik ini jelas sangat menarik dan sangat menjanjikan di masa yang akan datang. Meskipun studi kasus mendalam bisa dilakukan untuk membedah mekanisme relasi konstitutif ini, analisis kuantitatif berupa permodelan panel dinamis (dynamic panel models) jelas akan sangat menarik. Jika kajian-kajian seperti ini bisa dilakukan di masa yang akan datang, maka Populi Center bisa menjadi pionir dalam studi macro politics, yang pernah diinisiasi oleh Erikson, Mackuence, dan Stimson pada akhir dekade 90an dan awal abad ke-21. Secara resources, tentu Populi Center mampu melakukan ini.

Bagi Populi Center, kehadiran buku ini mengingatkan kita pada pentingnya kajian-kajian komprehensif untuk menjelaskan fenomena politik yang kompleks. Pertama, buku ini bersifat akademik dan tidak ada pretensi politik di belakangnya mengingat di dalamnya termuat potret ragam persoalan dengan rentang isu yang variatif dengan pendekatan yang cukup lengkap, mulai dari kajian yang heavy quantitative hingga yang sifatnya kualitatif dan antropologis. Kedua, buku ini mendorong kita untuk memikirkan apakah benar bahwa saat ini “democracies are being transformed by the power of feeling” sebagaimana ditulis oleh Wiliam Davies dalam Nervous States (2018). Realitas politik di Jakarta terasa sekali dipengaruhi oleh aksi-reaksi spontan, tanpa kalkulasi rasional, dan banyak berdasarkan rumor, isu, perasaan xenofobia, maupun prejudice yang dikapitalisasi oleh petualang-petualang politik untuk memobilisasi massa maupun untuk mendulang dukungan kebijakan. Melalui berbagai studi kasus dan survei lokal Jakarta, berbagai insights dalam buku ini kiranya dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Penerbitan buku ini semakin menasbihkan posisi Populi Center sebagai lembaga kajian publik yang fokus pada kajian kebijakan dan opini publik. Buku ini melengkapi penerbitan buku sebelumnya dengan judul Ke Timur Haluan Menuju (2019) yang memuat hasil studi demokrasi dan dinamika lokal di kepulauan Maluku. Kehadiran buku ini menunjukkan komitmen Populi Center dalam mendorong pemahaman akan persoalan publik secara lebih mendalam sambil terus berkontribusi bagi tata kehidupan masyarakat dan bernegara yang demokratis.

Selamat untuk Populi Center.


Jakarta, 18 Agustus 2020
Nico Harjanto, Ph.D
Yayasan Populi Indonesia

Daftar Isi

Sampul
Pengantar
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih
Tentang Para Kontributor/Penulis
Daftar Tabel, Foto, Peta, dan Figur
Daftar Singkatan
Glosarium
Daftar Isi
Jakarta Narasi Identitas Nasional, Modernitas, dan Ibu Kota Baru: Hikmat Budiman
Ideologi dan Kebijakan Publik Memeriksa Konsistensi Ideologis Antara Pilihan Politik dan Dukungan terhadap Kebijakan Pemerintah DKI: Afrimadona
Reklamasi, dan Cerita-cerita Lain tentang Politik dan Siasat Ruang di Jakarta: Hartanto Rosojati
Ulang-Alik Batavia Kemacetan dan Masalah Hunian Kelas Pekerja di Jakarta: Jefri Adriansyah
Jakarta Smart City Cerita Kecil dari Meruya Utara: Nona Evita
Menuai Puing Janji Politik Program Community Action Plan (CAP) di Kampung Akuarium: Nurul Fatin Afifah
Di Balik Kehendak Rakyat Tautan antara Populisme dan Kebijakan Publik di DKI Jakarta: Rafif Pamenang Imawan
Daftar Pustaka
Indeks