Belalang Kini Hama, Kelak Sumber Protein Andalan
Di balik meroketnya perkembangan teknologi, masa depan pangan dunia cukup mencemaskan. Masalah malnutrisi, defisiensi energi dan micronutrisi di satu sisi, dan konsumsi energi berlebihan dan obesitas di sisi lain, semakin menghantui. Tidak kurang dari 25 persen penduduk di Afrika dan 16 persen di Asia Selatan masih menderita malnutrisi. Kita juga tidak menutup mata, negeri ini masih belum selesai menangani kasus malnutrisi dan stunting.
Ini yang akan diungkap dalam Tabloid Sinar Tani pada edisi kali ini. Solusinya tentu saja bukan belalang. Judul di atas menyengat, tapi sistem pangan global memang dalam keadaan kritikal. Tahun 2050, hanya kurang dari 30 tahun ke depan, populasi penduduk dunia akan mencapai 10 milyar jiwa. Kebutuhan pangan akan meningkat sekitar 70 persen sedangkan infrastruktur pertanian dunia saat ini tidak menjamin mampu menyediakan pangan dan nutrisi sebaik sekarang.
Para futurist dan saintis memperkirakan penduduk dunia akan terpaksa dihadapkan pada jenis makanan yang tidak biasa, seperti inseks, ganggang, daging berbasis tanaman, produk GMO, daging dan ikan yang dikembangkan di laboratorium atau terbuat dari produk tanaman. Tanpa disadari, pola konsumsi manusia saat ini sangat tergantung pada sejumlah kecil jenis makanan saja. Coba saja amati makanan kita sehari-hari. Sekitar 60 karbohidrat berasal dari beras, gandum dan jagung. Protein hewani berasal dari beberapa jenis hewan ternak dan ikan. Pangan pada masa depan bukan lagi pilihan tetapi keterpaksaan.
Masalah pangan masa depan tidak hanya akibat pertumbuhan penduduk tetapi juga karena kemampuan sumberdaya pertanian yang mengalami penurunan. Perubahan Iklim adalah ancaman penting. Sementara, menurut FAO pertanian menyumbang sekitar 25 persen emisi gas rumah kaca, di mana 60 persen di antaranya berasal dari peternakan. Pertanian juga menerima dampak paling serius dari perubahan iklim. Mau tidak mau, suka tidak suka, penduduk dunia harus melakukan proses produksi yang lebih bersahabat bagi lingkungan.
Khusus di Indonesia, dengan tingkat kemiskinan masih sekitar 9,7 persen, kekurangan nutrisi masih menghantui. Statistik menunjukkan, konsumsi protein per kapita rendah, terutama protein hewani. Konsumsi daging, susu, ikan dan sayuran serta buah-buahan masih lebih rendah dibanding dengan di negaranegara tetangga yang mempunyai tingkat PDB/kapita setara atau bahkan lebih rendah. Demikian juga secara rata-rata, stunting dan indikator fisik lain seperti tinggi badan, masih di bawah negara-negara tetangga.
Terlepas dari pertimbangan etika, di beberapa daerah inseks sudah banyak dikonsumsi. Pada saat ini, di tempat tertentu, berbagai inseks seperti jangkrik, belalang, laron, lebah, ulat bambu, ulat jadi dan ulat sagu sudah dikonsumsi. Ada juga yang sudah diperjualbelikan di pasar pedesaan. Bahkan goreng belalang sudah diiklankan di toko online. Tentu saja selalu ada kontroversi, tetapi kenyataan itu tidak dapat dipungkiri.
Kembali ke BSF, maggot yang memberikan kualitas protein tinggi, sebagai bahan makanan manusia dinyatakan tidak halal, tetapi manfaatnya sebagai pakan ternak dan ikan sangat tinggi, selain kemampuannya dalam menghancurkan sampah yang sampai sekarang belum tuntas dihancurkan oleh manusia. Belalang sekarang adalah hama, masa depan bisa jadi bahan pangan atau pakan. Sekarang musuh, siapa tahu kelak akan jadi sahabat. Mirip partai politik saja.