PSR dan ISPO: BPDPKS saja tidak Cukup
Komoditas sawit telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara secara signifikan. Kini kondisi tanamannya yang sudah tua dan tidak efektif lagi berproduksi. Selain itu perdagangan dunia juga menuntut kebun sawit ini memiliki sertifikat yang menjamin keberlanjutan lingkungan. Boleh jadi persyaratan ini berlatarbelakang persaingan usaha, tapi bagi kita pembangunan sawit berkelanjutan bertujuan menghadirkan manfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang
Program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) dan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) didukung pembiayaan oleh BPDPKS, akan tetapi proses penyiapan dokumentasi pendukungnya melibatkan pemerintah daerah dan Kementerian Pertanian.
Replanting dengan bibit baru yang sudah tersertifikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Programnya cukup ambisius, tetapi penyaluran dana PSR dari tahun 2016 sampai 2023 baru mencakup 282.409 hektar dari 540.000 ha lahan yang ditargetkan selesai pada tahun 2024. Sedangkan dana yang sudah digelontorkan mendekati 7,8 trilyun rupiah.
Program PSR ini dapat dilakukan melalui 2 jalur. Yang pertama melalui jalur kedinasan alias diusulkan oleh dinas perkebunan di kabupaten/kota setempat dan berjenjang hingga provinsi dan Ditjenbun di Kementerian Pertanian hingga keluar Rekomtek (Rekomendasi Teknis). Yang kedua oleh pekebun, kelompok pekebun dan koperasi yang melakukan program peremajaan kebun sawit mereka secara swadaya melalui jalur kemitraan.
Kegiatan PSR jalur kemitraan ini pembangunan kebun barunya dilakukan oleh mitra perusahaan yang berada di sekitar lahan mereka. Status perusahaan pelaksana PSR bisa hanya sebagai operator pelaksana kegiatan PSR, namun juga bisa sebagai Full Avalist alias dari awal replanting hingga pembelian hasil TBS nya.
Selain program Peremajaan Sawit Rakyat, terdapat dukungan sarana dan prasarana, berupa penyaluran benih, pupuk dan pestisida, bantuan pemberian alat pasca panen dan unit pengolahan hasil, peningkatan jalan dan tata kelola air, serta bantuan alat transportasi bagi pekebun untuk mengangkut hasil panen.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan dana sertifikasi ISPO. Syarat tersebut adalah poktan, gapoktan, koperasi atau kelembagaan ekonomi pekebun lainnya memiliki lahan maksimum 1.000 hektar yang sah dan legal dan tidak dalam keadaan sengketa. Berikutnya adalah Memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Syarat lainnya adalah rencana kegiatan operasional dan laporan kegiatan pekebun dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
Prosesnya panjang. Untuk memperoleh Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dimulai dari pemeriksaan berbagai dokumen di tingkat Kabupaten/Kota, verifikasi oleh Dinas Perkebunan setempat sampai disyahkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Baru kemudian setelah Rekomtek tersebut keluar BPDPKS akan menyampaikannya pada penyedia barang dan jasa.
Regulasi tersebut dibuat dan disepakati bersama lintas kementerian, antara lain Kementrian Keuangan dan Kementerian Pertanian. BPDPKS hanyalah operator pembayaran, bukan sebagai regulator.
Di sinilah letak permasalahannya. Jadi, kapan PSR dan sertifikat ISPO akan diterima petani? Sementara bisnis kelapa sawit dunia sudah melesat meninggalkan kita.