Hidupnya bisa dikatakan sederhana. Dia tinggal di ruangan seperti kontrakan kamar petak di bengkel mobilnya. Bersama istri dan anak balitanya, dia menggantungkan hidup dari bengkel yang dimodali oleh orang yang percaya kepadanya. Orang-orang biasa memanggilnya Kang Gun.
Namun, siapa sangka, Kang Gun yang sederhana itu ternyata rela mewakafkan sawah seluas 1.100 meter persegi, asetnya yang berharga, menjelang akhir Juli lalu. Sawah yang tadinya dia beli sebagai bekal pernikahan, diwakafkan kepada Wakaf DT. Untuk pengelolalannya, dia menyerahkan sepenuhnya kepada Wakaf DT.
Bisa saja dia jual sawah yang ia cicil dari keringatnya itu untuk memperbesar usahanya. Atau mungkin bisa digunakan untuk membayar utang yang masih ditanggungnya. Atau yang paling masuk akal, hasil dari penjualannya bisa ditambahkan untuk pembelian rumah.
Namun, Kang Gun menyadari betul sawahnya didapatkan dengan menyertakan riba di dalamnya. Cicilan ke bank yang rutin dibayarkannya tentu berbunga. Saat itu, Kang Gun mengaku sawah itu ibarat kesempatannya untuk memiliki aset dengan harga murah. Sawah yang merupakan barang lelang dari perbankan menjadi peluangnya untuk memiliki bekal kehidupan pernikahannya.
Sejalan dengan pemahamannya mengenai bahaya riba. Dia ingin total terlepas dari segala bentuk riba. Dia membayangkan dosa yang akan membuat hidupnya bersama keluarga kecilnya penuh kegelisahan. Awalnya Kang Gun merasa bingung harus dikemanakan.
Tetapi intinya, untuk membersihkan hartanya itu dia menginginkan sawah itu bermanfaat bagi banyak orang. Dia ingin menyedekahkannya langsung atau mengelolanya yang hasilnya disedekahkan.
Pilihannya adalah wakaf, sedekah yang banyak keutamaannya. Amalan ini ternyata memiliki begitu banyak keberkahan, di antaranya yang paling utama adalah pahala yang terus mengalir dan keberkahan hidup.
