Tampilkan di aplikasi

Mengadu nasib di desa

Majalah Swadaya - Edisi 196
29 Januari 2019

Majalah Swadaya - Edisi 196

Usai salat subuh, saya tilawah. Usai tilawah saya termenung sejenak, lalu bergegas menuju bandara. Namun, di dalam pikiran masih saja terlintas.

Swadaya
Ada sejuta gundah hendak dilepas. Diri ini seolah makin tergugat oleh sebuah pertanyaan. “Apa yang sudah kamu lakukan untuk negeri ini?” Sebuah resolusi untuk menyambut 2019. Saya teringat saat seorang kawan menyodorkan gagasan tentang “Desa Tangguh” beberapa waktu lalu. Gagasan ini sangat mulia. Mengapa mulia?

Karena Indonesia punya 80-an ribu desa. Namun kabarnya, 71 ribu desa dalam kondisi miskin. Sebanyak 80 persen petaninya tak punya tanah. Kalaupun punya, tanahnya hanya di bawah 2 ribu meter. Meski begitu, mereka tetap berjuang. Maka, pantaskah kita membiarkan situasi ini? Sampai kapan mereka bisa bertahan dengan kondisi ini? Di sinilah kemuliaannya, mengangkat harkat derajat manusia.

Memang, kebijakan Indonesia ada di istana dan lingkaran senayan. Tapi ingat, masa depan Indonesia ada di desa-desa. Jika desa lumpuh, bukankah ini bencana besar bagi negeri! Mau tak mau, desa mesti kembali pada khittahnya. Musti jadi “Desa Tangguh”.

Desa Tangguh, apa itu? Dari nama, setidaknya tujuan kita sama. Desa mesti tangguh ekonominya dan tangguh karakternya. Desa Tangguh dibangun dengan tiga karakter utama : zikir, pikir, dan ikhtiar. Lain waktu, akan dijelaskan lebih rinci tentang zikir, pikir, dan ikhtiar ini.

Selain itu, arus kekuatan lain Desa Tangguh adalah semuanya serba lokal. Local resources, local wisdom, dan local genius. Manfaatnya, desa jadi bergairah dan sedikit banyak akan siap-siap cegah urbanisasi.
Majalah Swadaya di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Edisi lainnya    Baca Gratis
DARI EDISI INI