Tanah kelahiran tokoh Nasional, Frans Seda, ini punya nama besar di era 80-an berkat penggalangan wisata bahari yang kuat. Nama Maumere bercokol di posisi tertinggi saat itu sebagai ‘one of the best dive sites in Asia’ , jauh sebelum muncul nama-nama yang belakangan ini meroket seperti Wakatobi, Pulau Weh, Raja Ampat, bahkan Komodo yang sama-sama di Flores.
Sayangnya, ketika gempa tektonik yang berpusat di teluknya menghantam Maumere disusul tsunami tahun 1992, kedigdayaan wisata pun turut menyusut. Dan setelah tahun-tahun berlalu, orang seakan lupa dan tidak tertarik lagi untuk menumbuhkan geliat wisata.
Kini dengan naiknya pamor Flores sebagai destinasi dunia, seiring terkenalnya Komodo, Wae Rebo, Bena, Kelimutu, Semana Santa, maka Maumere pun mulai tersentak untuk bangun, menunjukkan bahwa dia belum mati, bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat dieksplor.
MENJEJAKI ATAP GUNUNG EGON
Pagi masih remang tatkala saya menderuhkan sepeda motor ke timur Maumere. Jalanan pun lengang, tak tercium aroma mesin kendaraan sama sekali. Yang terasa hanyalah terpaan angin, seakan memberi tanda bahwa alam sedang memurnikan kembali dirinya dari polusi serta ribut gadu sehari sebelumnya.
Rencana subuh ini adalah mendaki Gunung Egon, sebuah gunung berapi aktif yang berada tak jauh dari pusat Maumere. Sebelum pesawat mendarat di Maumere, siapapun bisa melihat gunung ini dari atas, mengenalinya tidak sulit, meskipun topografi Maumere rata-rata bergunung, tapi perhatikan saja bagian puncak gunung ini yang memutih, terpotong sebagian, serta menyisahkan lubang kawah di tengah, semuanya akibat letusan.
