Tampilkan di aplikasi

Ada apa dengan vale?

Majalah Warta Ekonomi - Edisi 10/XXIX/2018
24 Oktober 2018

Majalah Warta Ekonomi - Edisi 10/XXIX/2018

Petugas menyusuri lorong Smelter PT Vale Indonesia. / Foto : Vale Indonesia

Warta Ekonomi
Niatan PT Vale Indonesia membangun pabrik smelter canggih dengan teknologi yang mampu mengolah nikel laterite menjadi bahan baku baterai mobil listrik belum kesampaian. Padahal ini jenis teknologi yang belum pernah ada di Indonesia dan capital intensive invesment. Maaf, izin belum keluar.

Ada yang bikin Nico Kanter belakangan ini gundah gulana. Chief Executive Officer (CEO) PT Vale Indonesia Tbk ini mengatakan bahwa pihaknya masih mengurus perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk membangun smelter nikel berkapasitas 40 ribu ton di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.

Sudah hampir setahunan ini bolak-balik mengurus perizinan ini tapi belum beres juga. Padahal, pabrik smelter yang mau dibangun memakai teknologi baru terbilang pionir yang belum pernah ada di Indonesia, yakni high pressure acid leach (HPAL). Investasi membangun smelter berteknologi HPAL juga terbilang mahal sekitar US$2 miliar. “Iya nih belum beres juga perizinannya,” ujar Nico Kanter.

Dengan memakai teknologi HPAL ini, jenis nikel laterite yang banyak dimiliki Indonesia diolah menjadi nikel sulfida yang menjadi bahan baku baterai mobil listrik atau electric vehicles (EV). Di dunia, baru Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) yang telah sukses (proven) memakai teknologi HPAL secara komersial di tambang nikel di Filipina.

Jenis nikel di Filipina sama dengan Indonesia yakni nikel laterite yang bisa diolah menjadi nickel pig iron (NPI) dan feronikel. NPI dan Feronikel merupakan bahan baku baja tahan karat (stainless steel) dan tidak cocok untuk baterai EV.
Majalah Warta Ekonomi di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI