Tampilkan di aplikasi

Buku Angkasa hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Maransi

1 Pembaca
Rp 83.200

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 249.600 13%
Rp 72.107 /orang
Rp 216.320

5 Pembaca
Rp 416.000 20%
Rp 66.560 /orang
Rp 332.800

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

“SUDAH seperempat abad gelar itu terlipat. Sudah saatnya kau membangkit batang tarandam.” “Aku tak ingin jadi datuk, Mandeh.” Baru saja Zakir menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Sudah sepuluh tahun berbilang. Lelah masih bersisa di wajahnya setelah perjalanan panjang. Dengan pesawat terbang, jarak ke kampungnya memang tak lama. Hanya satu jam setengah. Namun, alam kini sukar diprediksi. Bandara diguyur hujan dan petir. Penerbangan tertunda. Zakir baru sampai di penerbangan terakhir. Ketika tiba di kampung, malam sudah larut. Mandeh langsung mencegatnya dengan permintaan yang sudah berulang kali ditolak.

“Sejak kakekmu meninggal, tak ada yang mewarisinya. Sayang, kaum kita hilang kebanggaan.”

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: A.R. Rizal

Penerbit: Angkasa
QRSBN: 9786233400121
Terbit: November 2017 , 208 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

“SUDAH seperempat abad gelar itu terlipat. Sudah saatnya kau membangkit batang tarandam.” “Aku tak ingin jadi datuk, Mandeh.” Baru saja Zakir menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Sudah sepuluh tahun berbilang. Lelah masih bersisa di wajahnya setelah perjalanan panjang. Dengan pesawat terbang, jarak ke kampungnya memang tak lama. Hanya satu jam setengah. Namun, alam kini sukar diprediksi. Bandara diguyur hujan dan petir. Penerbangan tertunda. Zakir baru sampai di penerbangan terakhir. Ketika tiba di kampung, malam sudah larut. Mandeh langsung mencegatnya dengan permintaan yang sudah berulang kali ditolak.

“Sejak kakekmu meninggal, tak ada yang mewarisinya. Sayang, kaum kita hilang kebanggaan.”

Pendahuluan / Prolog

Maransi
Entah mengapa Mandeh begitu berkeras hati meminta Zakir menerima gelar datuk yang sudah lama terlipat. Perempuan itu tak pernah tertarik ikut campur dengan urusan kaum. Ia sudah senang menjadi perempuan rumahan, melihat anak-anaknya sukses menjadi orang. Pastilah ada yang menghasut Mandeh. Siapa lagi kalau bukan saudara laki-lakinya yang ada di kampung.

“Ambillah gelar itu untuk anakmu. Sudah sepantasnya kau menjadi perempuan yang diperhitungkan.” Sunur mencoba memengaruhi Mandeh. Perkataannya seolah-olah tulus. Padahal, selalu ada pamrih di setiap kebaikan yang dilakukan saudara lakilaki Mandeh itu. Zakir melihat wajah mamaknya itu penuh dengan tipu daya. Sunur hanya ingin mengambil keuntungan untuk dirinya.

Kalau Zakir dikukuhkan jadi datuk, Sunur akan mengajukan diri untuk mengurus semua helat pengangkatan. Ia akan mengambil keuntungan di sana.

“Aku merasa belum pantas, Mandeh.” “Tak ada yang lebih pantas di kampung ini selain dirimu.” Mandeh meyakinkan. “Kau sudah menjadi orang sukses di rantau.

Apa yang kau berikan sudah melebihi dari yang aku harapkan. Rumah batu, perabotan, kau hajikan, hidupku tak pernah kekurangan, apa lagi ukuran ketidakpantasan menurutmu?”

Daftar Isi

Cover Depan
Halaman Judul
Halaman Copy Right
Daftar Isi
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Cover Belakang