Al-Imam Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistani meriwayatkan (Sunan Abi Dawud no. 1320) dari sahabat Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami radhiallahu anhu. Beliau berkisah, َ
Aku pernah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bermalam untuk mempersiapkan air wudhu dan melayani keperluan beliau.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepadaku, “Mintalah sesuatu!”
Aku lantas menjawab, “Aku ingin bersamamu di surga.” َ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Tidak adakah permintaan yang lain?”
Aku bersikukuh, “Itulah permintaanku.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Jika demikian, bantulah diriku untuk permintaanmu itu dengan memperbanyak bersujud.”
Sahabat Rabi’ahradhiallahu anhu merupakan teladan mulia. Beliau radhiallahu anhu mengajari kita tentang definisi cita-cita tertinggi. Jika kesempatan semacam itu datang, apakah setiap orang memiliki cara berpikir yang sama dengan Rabi’ah?
Andai Anda diberi kesempatan untuk menyampaikan permohonan— dengan catatan, permohonan itu akan dikabulkan—kira-kira apa yang akan diminta? Barangkali yang sedang terlilit utang akan berharap dilunaskan. Orang yang sedang sakit ingin segera sembuh. Bisa jadi, yang sudah lama membujang ingin secepatnya bertemu jodoh. Untuk yang belum memiliki keturunan, seorang anak tentulah menjadi sebuah keinginan. Orang yang sejak bertahun-tahun lalu ingin kaya, merasa telah tiba saatnya untuk meminta harta. Seorang pengangguran pasti meminta pekerjaan; masih banyak permintaan lainnya.
Keinginan-keinginan semacam di atas, bisa jadi terpikirkan juga oleh Rabi’ah radhiallahu anhu. Buktinya? Rabi’ah radhiallahu anhu berkata, “Hanya saja, aku sadar bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana dan akan berakhir.”
