Dalam lansekap global, dimana rantai suplai seringkali dilakukan antar-negara, penambahan tarif jelas akan memberikan dampak besar dari sisi harga jual. Tanggal 23 Juni, melalui referendum dilakukan seluruh rakyat, Inggris Raya (UK) memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (UE). Pendukung British Exit (Brexit) menang dengan angka 51,9 persen.
Banyak pihak, termasuk pelaku industri terhenyak. Brexit berarti Inggris bukan lagi bagian dari UE. Artinya, semua privilige dalam hal tarif perdagangan yang sebelumnya dinikmati produk Inggris menjadi tidak berlaku. Apalagi jika ada chauvinis di pemerintahan baru pasca David Cameron mundur yang ingin memproteksi Inggris. Niatnya, tentu memajukan industri Inggris.
Celakanya, paling tidak dari sudut pandang otomotif output pabrik-pabrik di Inggris sebagian besar ditujukan untuk pasar Eropa daratan. Sebagai contoh, 75 persen hasil produksi pabrik Toyota di Inggris merupakan ekspor ke UE. Dalam lansekap global, dimana rantai suplai seringkali dilakukan antar-negara, penambahan tarif jelas akan memberikan dampak besar dari sisi harga jual.
Bukan tidak mungkin kan terjadi relokasi besar-besaran pabrik dari Inggris ke negara-negara UE. Apalagi sekarang sudah hampir tidak ada yang namanya produsen otomotif asli Inggris. MINI dan Rolls-Royce menjadi milik BMW, Bentley punyanya Volkswagen AG, sementara Jaguar dan Land Rover menjadi bagian dari konglomerasi Tata.
Ada utopia dimana Brexit akan melahirkan kembali kejayaan brand-brand asli asal Inggris. Jika Tesla bisa, kenapa brand Inggris tidak? Sangat sulit, namun bukan hal mustahil. Dengan catatan bisa menawarkan unique selling point. Bagi otomotif Tanah Air, Brexit tidak akan memberikan dampak besar. Produk asal pabrik Inggris (MINI, Bentley, Rolls-Royce, McLaren, Aston Martin) hanya dinikmati oleh segelintir auto enthusiast. Jadi tidak akan berdampak besar.