Komunitas Bakery-Restoran dan Café, Menyimak langkah yang dilakukan Howard Schultz, sang pendiri Starbucks Café, dalam artikel yang ditulis majalah Fortune edisi 15 Juni 2017 lalu terasa menghentak perhatian saya. Schultz memutuskan mengundurkan diri sebagai CEO Starbucks pada April 2017 lalu dan digantikan oleh Kevin Johnson.
Posisi Schultz selanjutnya adalah sebagai Executive Chairman saja. Sebenarnya pada tahun 2000 Schultz juga sudah pernah mengundurkan diri sebagai CEO Starbukcs namun melihat gaya manajemen Starbucks yang kurang cocok bagi Schultz di bawah CEO Jim Donald, maka pada tahun 2008 Schultz kembali memegang tampuk CEO.
Jabatan CEO yang selanjutnya dipegang Kevin Johnson tampak cukup berat karena adanya krisis finansial yang mempengaruhi daya beli pasar atas produk Starbucks yang rata-rata membelanjakan uangnya sekitar US$ 5 di Starbucks. Target penjualan yang harus dicapai adalah dari US$ 21,3 miliar (tahun 2016) menuju US$ 35 miliar (64 persen lonjakan) pada tahun 2021.
Untuk mencapai target tersebut maka Starbucks harus membuka 12.000 gerai lagi dalam 5 tahun ke depan sehingga secara keseluruhan akan terdapat 37.000 gerai di seluruh dunia. Mayoritas gerai yang akan dibuka Starbucks berada di Tiongkok, yang akan menjadi pasar terbesar bagi Starbucks ke depannya. Untuk itu Johnsons harus melakukan 2 dorongan pertumbuhan yang dianggap kritikal bagi masa depan perusahaan. Pertama mengembangkan operasi digital dan layanan bergerak (mobile).
Hal ini nampak bisa dilakukannya dengan baik karena dia sebelumnya eksekutif di Microsoft. Saat ini 25% order di Starbucks dilakukan dan dibayar secara digital. Tugas Johnson akan berfokus pada logistik agar kecepatan layanan dan kenyamanan berbelanja tetap terjaga. Area kunci kedua adalah tugas Schultz, yang sebagai Executive Chairman dia akan mengembangkan merek baru yang berkelas lebih tinggi di mana pengunjung yang ditargetkan adalah yang mencari pengalaman bukan sekedar duduk minum kopi saja.
Untuk itu terdapat 3 kegiatan yaitu menghadirkan The Roastery, tempat minum kopi ultra mewah; lalu meluncurkan biji kopi single-origin yang disebut The Reserve dan ketiga meluncurkan gerai mewah jenis kedua setelah The Roastery, yang kelasnya di atas Starbucks namun tidak semewah The Roastery, yang diberi nama juga The Reserve.
Jika strategi ini sukses maka pengunjung yang bersedia membayar sekitar US$ 16 (sekitar Rp 200.000) per cangkir kopi akan betah duduk di The Roastery dan tidak akan menoleh lagi ke Starbucks. Akankah strategi ini menjadi kesuksesan yang nyata bagi Starbucks? Mari kita lihat dan jadikan bahan analisis bagi usaha kita pula.