Seputar Taksi. Isu terpanas beberapa hari terakhir tentu demo anarkis dilakukan oknum sopir taksi yang menuntut ditutupnya layanan ‘taksi’ berbasis aplikasi seperti Uber ataupun Grab Car. Tanpa henti, timeline media sosial saya berisikan foto-foto demo anarkis diikuti caci-maki dan hujatan terhadap dua operator taksi terkemuka.
Sikap saya jelas. Apapun alasannya, demo anarkis model begini tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak tegas. Kalau perlu, perusahaan taksi yang membiarkan anggotanya melakukan perusakan juga ikut ditindak. Ini negara hukum, apa pun protes Anda lakukan dengan cara yang benar.Yang makin seru, argumentasi di media sosial berlangsung tak kalah panasnya. Baik pendukung maupun anti taksi berbasis aplikasi mengutarakan pendapatnya bagaikan cerdik-cendekia. Pasal UU mengatur transportasi dikupas, masalah pajak disebut-sebut, tren digital dibawa-bawa dan isu sosial ekonomi sopir taksi sebagai kaum tertindas dimunculkan.
Konsumen tidak pernah salah. Demand melahirkan supply. “Taksi online” menawarkan kepraktisan, kenyamanan dan keamanan yang dianggap barang langka pada taksi biasa. Belum lagi tarifnya, yang kalau mau jujur agak sulit dicerna dari hitungan bisnis. Apa yang dilakukan Uber dan Grab bukan barang baru. Hanya kemasannya yang lebih sophisticated. Saya jadi teringat ketika angkutan umum resmi memprotes keberadaan omprengan. Ataupun taksi gelap di bandara yang mengganggu lapak taksi konvensional.
Pangkal permasalahan berujung pada ketidakjelasan sikap pemerintah. Kemajuan tidak bisa dibendung. Segera ciptakan payung hukum bagi taksi berbasis aplikasi ini. Semisal, siapa harus bertanggung-jawab apabila terjadi hal tidak diinginkan pada penumpang. Sekaligus, perintahkan operator taksi untuk memperbaiki kualitas layanan agar kembali dicintai pengguna jalan.