Program sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Menjadi pekerja profesional di era pasar bebas sekarang ini tidak cukup dengan modal pintar saja, atau lulus dari jenjang pendidikan tertentu atau memiliki keahlian tertentu, tetapi harus ditambah satu modal lain lagi, yaitu sertifikat kompetensi kerja.
Hampir semua profesi sekarang ini memang sedang dituntut untuk memiliki sertifikat, mulai dari pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik hingga tenaga ahli, dari lulusan sekolah vokasi hingga perguruan tinggi. Hal ini menjadi syarat penting untuk bisa eksis di pasar tenaga kerja yang makin kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun dengan para pekerja di negara-negara lain.
Di sektor konstruksi, misalnya, meski kebanyakan pekerja adalah jebolan pendidikan vokasi, yang berarti bahwa mereka sudah memiliki keahlian tertentu sesuai dengan alur pendidikannya, mereka tetap dituntut memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai profesinya saat ini. Merujuk pada penjelasan pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah no.
52/2016, pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan. Selama masa belajar, pendidikan vokasi menerapkan sistem minimal 60 persen praktek dan maksimal 30 persen teori atau idealnya 70% praktek dan 30% teori.
Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang gencar melakukan program sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi. Berdasarkan amanat UU itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) semakin meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) bidang konstruksi melalui Program Percepatan Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 19 Oktober 2017.
Alhasil, jumlah tenaga kerja konstruksi Indonesia yang bersertifikasi terus meningkat signifikan. Berdasarkan data Dirjen Bina Konstruksi, hingga 2018, jumlah tenaga kerja yang bersertifikat sebesar 616 ribu orang, yang terdiri atas 419 ribu tenaga kerja terampil dan 197 ribu tenaga kerja ahli dari total tenaga kerja konstruksi sebanyak 8,3 juta orang atau 7,4%.
Pada tahun ini, Pemerintah Pusat berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) menargetkan sebanyak 512.000 orang tenaga kerja konstruksi bersertifikat atau 10 kali lipat dari rata-rata capaian tahunan program sertifikasi dari 2015-2018.
Kepemilikan sertifikat oleh para tenaga kerja konstruksi di Indonesia memang masih minim dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal, di era pembangunan infrastruktur nasional yang kian masif saat ini, potensi pasar Indonesia sangat menjanjikan, terutama di lingkungan ASEAN sehingga menjadi bidikan para investor dan pekerja-pekerja asing.
SDM konstruksi lokal harus bersaing dengan kolega-kolega dari negara-negara tetangga. Kondisi ini bisa menjadi ancaman bagi pekerja-pekerja konstruksi domestik kalau tidak segera dicarikan jalan keluarnya. Sebab itu, kita patut mengapresiasi dan mendorong upaya Pemerintah, cq Kementerian PUPR, untuk terus memacu peningkatan Program Sertifikasi bagi SDM sektor konstruksi.