Industri alat berat Indonesia kembali tertekan karena kelesuan industri tambang batu bara. Hingga paruh kedua tahun ini, penjualan alat-alat tambang cenderung landai seiring dengan kian merosotnya harga komoditas tambang, khususnya batu bara. Kondisi ini menjadi pukulan berat bagi para pemain alat-alat tambang batubara. Kalau berlarutlarut, situasinya akan berubah menjadi sebuah krisis yang mempunyai efek bola salju seperti pengalaman pada tahuntahun sebelumnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri tambang menjadi penggerak utama pasar alat berat di Indonesia. Hal itu bukan tanpa alasan. Rata-rata alat-alat tambang berukuran besar. Ukuran yang makin besar itu juga mencerminkan nilai atau harganya. Artinya, harga mengikuti ukuran.
Dari segi kebutuhan, siklus penggantian alat-alat tambang jauh lebih cepat dibandingkan dengan mesin konstruksi. Masa pakai alat-alat tambang sekitar 3 hingga 5 tahun. Jarang ada yang lebih dari itu karena jenis pekerjaannya yang sangat menantang (heavy duty) dan waktu kerjanya yang panjang. Itu sebabnya alat-alat tambang harus benar-benar tangguh, baik engine maupun rangkanya, agar bisa tahan bekerja keras sepanjang hari. Unit-unit ini dituntut untuk memiliki produktivitas tinggi dengan tingkat downtime yang serendah mungkin.
Sedangkan usia pakai alatalat konstruksi bisa sampai berpuluh-puluh tahun. Tidak heran di sektor konstruksi kehadiran alat-alat bekas lebih dominan daripada alat-alat baru. Lihat saja kehadiran alat-alat bekas di proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang sedang giat dilakukan dewasa ini. Wajar di era pembangunan infrastruktur sekarang ini tidak semua pemain alat antusias karena penjualan unit-unit baru tidak begitu besar. Apalagi dengan kondisi pasar yang begitu kompetitif sekarang ini. Pemain makin banyak tetapi kebutuhan cenderung berkurang. Mereka harus berjuang keras memperebutkan kue yang begitu kecil.
Hampir semua emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah merasakan dampak buruk dari kelesuan industri tambang itu. (Lihat tulisan “Penjualan Alat Masih Lesu, Segmen Jasa Jadi Penopang”). Laporan keuangan mereka hingga paruh pertama tahun ini kurang begitu menggembirakan. Pendapatan tetap tumbuh tetapi kurang signifikan.
Kejatuhan harga batu bara dipicu oleh berkurangnya permintaan di pasar ekspor, terutama China dan India. Kedua negara itu mulai menghentikan impor batubara untuk menjaga kelestarian lingkungan, terutama mencegah polusi udara. Sebetulnya Pemerintah sudah berusaha mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor dengan terus mendorong pemakaian batubara dalam negeri, terutama pada mesin-mesin pembangkit.
Pemerintah sudah mencanangkan proyek listrik 35 GW yang memasok batubara sekitar 30 persen dari bauran energi nasional pada tahun 2025. Kalau permintaan batubara domestik terus meningkat untuk memasok kebutuhan bahan bakar bagi mesin-mesin pembangkit yang menjadi bagian dari program kelistrikan nasional itu, maka hal ini akan memunculkan peluang-peluang baru bagi produsen-produsen dan/atau dealerdealer mesin-mesin tambang di Indonesia. Namun, upaya itu rupanya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Menyiasati pertumbuhan pasar alat-alat tambang yang melambat itu, beberapa distributor melakukan terobosan dengan memperkenalkan alat-alat yang menggunakan energi alternatif untuk menekan biaya operasional. Liebherr, misalnya, sudah meluncurkan dua mesin tambang bertenaga listrik, R 9200 E dan T236. R 9200 E adalah excavator 210 ton yang 100% bertenaga listrik. Alat ini menyeimbangkan kinerja dengan kesadaran lingkungan, dengan biaya perawatan yang 25% lebih rendah dibandingkan excavator diesel. Excavator ini berpasangan dengan truk tambang T 236 bertenaga diesel elektrik, 100 ton. Gandar belakang truk ini digerakkan oleh motor listrik, yang mengambil energinya dari diesel engine.
PT. Daya Kobelco memperkenalkan model hydraulic excavator generasi 10, SK520 XDLC. Excavator kelas 50 ton ini dikembangkan sebagai sebuah mesin yang efisiensi bahan bakarnya sekitar 17%, bahkan hingga 26% dari model terdahulu. Kunci efisiensi itu terletak pada pengembangan sistem hidrolik yang disebut arm interflow system, sebuah teknologi resolusioner yang menghemat bahan bakar.
Di segmen teknologi pengeboran dan peledakan makin menguat, seperti yang diperkenalkan oleh PT Trakindo Utama dan PT. Sandvik Mining and Construction Indonesia. Apakah berbagai terobosan ini dapat mengurangi beban yang mendera industri tambang saat ini, temukan jawabannya pada pameran Mining & Construction Indonesia yang akan diselenggarakan di JI-Expo Kemayoran, 18 – 21 September 2019. Jangan lewatkan kesempatan yang sangat berharga ini.