Tampilkan di aplikasi

Buku Garudhawaca hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Mak Ana Asu Mlebu Ngomah

3 Naskah Lakon Bahasa Jawa

1 Pembaca
Rp 65.000 54%
Rp 30.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 90.000 13%
Rp 26.000 /orang
Rp 78.000

5 Pembaca
Rp 150.000 20%
Rp 24.000 /orang
Rp 120.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Mak Ana Asu Mlebu Ngomah : 3 Naskah Lakon Bahasa Jawa karya Andy Sri Wahyudi Andy Sri Wahyudi, adalah sutradara dan pegiat teater di Yogyakarta. Ia menulis banyak naskah drama dan pantomime. Buku ini menyajikan 3 naskah lakon berbahasa Jawa karyanya. Kendati tidak menyajikan sebuah karya sastra Jawa yang “benar” dari segi tata bahasa, Andy justru lebih jauh memotret situasi lahir dan batin dari masyarakat pinggiran kota yang berada dalam sebuah keadaan terjepit. Masyarakat yang tersingkir dan tertinggal dari arus pembangunan, sekaligus masyarakat yang dalam kelugasan dan kekasarannya, justru menunjukkan keteguhan memegang prinsip-prinsip nurani.

Ikhtisar Lengkap    Bahasa: Jawa


Penulis: Andy Sri Wahyudi

Penerbit: Garudhawaca
ISBN: 9786027949478
Terbit: September 2014 , 290 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Mak Ana Asu Mlebu Ngomah : 3 Naskah Lakon Bahasa Jawa karya Andy Sri Wahyudi Andy Sri Wahyudi, adalah sutradara dan pegiat teater di Yogyakarta. Ia menulis banyak naskah drama dan pantomime. Buku ini menyajikan 3 naskah lakon berbahasa Jawa karyanya. Kendati tidak menyajikan sebuah karya sastra Jawa yang “benar” dari segi tata bahasa, Andy justru lebih jauh memotret situasi lahir dan batin dari masyarakat pinggiran kota yang berada dalam sebuah keadaan terjepit. Masyarakat yang tersingkir dan tertinggal dari arus pembangunan, sekaligus masyarakat yang dalam kelugasan dan kekasarannya, justru menunjukkan keteguhan memegang prinsip-prinsip nurani.

Ulasan Editorial

Semangat hidup, perasaan saling mengayomi, kerja keras, kebahagiaan cinta, bertindihan dengan penggusuran, kekalahan dan putus asa. Semuanya tumbuh organik dan sederhana dalam naskah ini, pun dalam hidup keseharian Andy

Pembuat Teater / Joned Suryatmoko

Membaca naskah Andy seperti menonton film yang riuh dengan banyak isu dan kaya ekspresi

Ani Himawati

Lakon-lakon yang ditulis Andy membuktikan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang tak tergantikan sebagai bahasa ekspresi yang mengungkap watak masyarakat Jawa, terutama masyarakat kecil yang menyikapi hidup secara sederhana

Dosen Teater ISI Yogyakarta / Nanang Arizona

Sepertinya sederhana, ringan, gampang, dan menyenangkan. Tapi bagi saya yang sederhana, yang ringan dan tampak sakgeleme dhewe itu hanya bungkus dari sebuah dunia Andy yang begitu kompleks

Aktor, dan Seniman Teater / Gunawan Maryanto

Pendahuluan / Prolog

Pengantar
Andy SW adalah tokoh unik di dunia kesenian Yogyakarta/ Indonesia masakini. Dia sangat aktif di kalangan seni pertunjukan kontemporer, yang dinamis, yang dipengaruhi oleh trend global dan berhubungan dengan dunia luar. Lihat terutama kegiatannya dalam pertunjukan pantomim, sebagai tokoh sentral grup Bengkel Mime Theatre, dan aktivitas seperti fantasi musikal untuk anak muda Pangeran Bintang dan Puteri Embun.

Tapi dia juga tetap merasa dirinya orang Jawa, yang sangat dekat dengan kehidupan kampung Jawa di mana dia dibesarkan, dengan bahasanya, kebiasaannya, filsafatnya. Sepertinya ada tanggungjawab untuk mewakili dunia ini di dalam karya kesenian. Dan komitmen ini yang menjadi inspirasi dan dasar dari naskah drama bahasa Jawa yang diterbitkan di sini.

“Saya ingin bercerita kepada dunia tentang sejarah kecil yang hidup di seputar saya, tentang karakter–karakter yang lahir di seputar saya. Tentang perubahan-perubahan yang ada di dekat saya.” Kata-kata ini diucapkan oleh Andy dalam email kepada saya baru-baru ini. Tentang pemilihan bahasa Jawa sebagai medium untuk mencapai tujuan ini, rupanya ada faktor pribadi dan yang lebih umum.

“Saya menemukan diri saya sendiri ketika menggunakan bahasa Jawa dalam menulis naskah. Mungkin karena bahasa Jawa adalah bahasa ibu saya, atau mungkin juga bahasa Jawa sangat mewakili perasaan dan pikiran saya dari kecil,” tulis Andy. Pada bagian lain dari suratnya, dia berkomentar, “Saya menulis sesuai dengan bahasa sehari-hari yang saya jalani, bahasa lisan orang kampung pinggiran yang sering saya dengar setiap hari. Bahasa Jawa menjadi khasanah pengetahuan yang merambah pada ranah kehidupan sosial secara detail.”

Sebagai cerminan interaksi sosial sehari-hari orang kampung masa kini, tentu saja bahasa yang dipakai dalam naskah Andy bukan bahasa Jawa yang ‘baik dan benar’. Ini bahasa Jawa biasa, ngoko: ada umpatan, penghinaan, kata jorok, slang, kata campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Tapi pokoknya ekspresi itu jujur “...bahasa Jawa yang saya pakai dapat menyampaikan hingga sampai pada titik paling dangkal, kasar, hina, sekaligus sampai pada titik nurani yang terdalam.” Bahasa lugu, jujur, dan kasar ini dipakai untuk mengekspresikan hubungan antar orang yang sering keras.

Seorang bapak diusir dari rumah oleh anaknya karena mencuri uang si anak untuk mencari seks. Seorang laki-laki muda dan dua teman memaki-maki ibunya sesudah disemproti air oleh si ibu karena terlambat bangun pagi; nanti mereka saling menuduh jadi orang homo, lalu mengumpat dan bertengkar dengan suatu gerombolan ‘anjing’, oknum bermasker anjing, agen pembangunan yang sudah mengambil alih rumah dan tanah tetangganya.

Karena, interaksi kecil ini terjadi dalam konteks sosial lebih luas yang tidak menguntungkan, dunia modern yang keras dan kapitialistis, seperti diterangkan dalam introduksi naskah Mak, Ana AsuMlebu Ngomah! Nganti tekan titi mangsane jaman nggulung manungsa utama Dadi bajingan nasar; dadi gedibaling pasar! (Hingga tiba saatnya jaman menggulung manusia utama menjadi bajingan nyasar; menjadi cecunguk pasar!)

Tiga segi penting dari naskah Andy, bahasa Jawa yang lugu dan kasar, interaksi antara tokoh yang jujur dan/tapi keras, dan refleksi perubahan sosial yang merugikan dan menyingkirkan orang kecil, mengingatkan kita kepada karya Bambang Widoyo Sp, alias Kenthut (alm), sutradara dan penulis naskah grup teater Gapit di Solo pada tahun 1980-1990-an. Andy memang mengaku belajar banyak dari drama Bambang Widoyo, dengan membaca naskahnya dan menonton pementasan lakon Gapit oleh grup lain.

Tapi ada perbedaan penting antara karya Andy dan drama Bambang Kenthut itu. Penggunaan bahasa Jawa ngoko yang lugu dan kasar dalam drama Kenthut sering dilihat sebagai protes terhadap kebiasaan pada zaman Orde Baru untuk merayakan dan mempromosikan bahasa Jawa halus yang adiluhung; juga dianggap tantangan terhadap penyingkiran budaya lokal dan merakyat oleh bahasa dan kebudayaan nasional. Fokus pada penduduk kampung yang miskin, yang tersingkirkan oleh pembangunan, menyampaikan kritik tajam terhadap pengabaian kesejahteraan orang biasa oleh pemimpin politik dan kalangan orang kelas menengah.

Tokoh-tokoh yang mencoba tetap setia pada nilai-nilai dan bentuk kebudayaan Jawa lama yang tidak dihargai lagi, seperti Salamun, mantan pemain wayang wong dalam Rol atau Mbok Sepi dalam Leng, digambarkan sebagai pemimpi yang berangan-angan saja. Lakon-lakon ini seperti menggambarkan dengan sangat realistis dan mengena kesulitan kehidupan orang kampung masa kini, segi gelap identitas wong cilik Jawa. Drama Mas Andy lain lagi.

Andy menggunakan bahasa Jawa bukan sebagai protes sosial tapi sebagai medium yang dipakai oleh orang-orang sekitar dia, dalam kehidupan sehari-hari yang ingin digambarkan di atas panggung. Zaman memang sudah berubah. Kalau pada zaman Orde Baru penyampaian protes sosial politik merupakan tujuan bersama kegiatan teater modern, sekarang ini dalam suasana politik yang lebih bebas tetapi kondisi sosial yang kacau dan kurang jelas, mewakili identitas komunitas tertentu dan menyampaikan cerita lokal menjadi fokus utama.

Dalam sumbangannya pada aktivitas ini, sebagai penulis naskah dan sutradara, karya Andy selalu diwarnai oleh sifat opitimistis dan bersemangat, di tengah semua tantangan dan kesulitan. Pada drama bahasa Jawanya kita menemukan dasar sikap optimistis itu dalam ucapan kepercayaan pada warisan kebudayaan Jawa, nilai-nilai dan cara pikir yang masih bisa jadi pedoman dalam kondisi sosial hari ini.

Pembuka lakon Lelakon ‘Urip Dilakoni kanthi Waras lan Trengginas’ mengambarkan kegilaan jaman sekarang, tapi tetap memberi anjuran supaya kehidupan orang masing-masing dilakoni kanthi waras lan trengginas! Pada bagian terakhir drama Mak, Ana Asu Mlebung Ngomah! Enam orang yang selama ini tetap melawan sementara tetangganya diusir oleh anjing pengembang perumahan, akhirnya dikalahkan juga, terpaksa meninggalkan rumah dan kampung

. Tapi mereka merebut dari anjing dan membawa serta batu nisan dari pemimpin dan pelindung kampung dulu, yang tetap disegani dan menjadi inspirasi. Tokoh Surip menyatakan, “Kijing sing satemene tandha urip lan ati sing ora isa direbut sapa wae! Urip lan ati sing ora isa mati!” Naskah Ora Isa Mati “Isih Akeh Wong Jujur neng Ngisor Wit Jambu Air” berakhir secara jauh lebih optimistis.

Mas Ganang, ex-gali, intelektual dan pemimpin kampung informal, yang baru bertemu lagi dengan kekasih tercinta yang sudah hilang puluhan tahun, menyatakan rencananya membangun kampungnya dengan bekerjasama dengan tetangganya, dibantukan warisan tokoh legendaris Mbah Leak.

Kata-kata Mas Ganang pada acara tujuh belasan dan sekaligus perayaan perkawinannya mengakhiri lakon: Neng sajroning atine awake dhewe ana kekuwatan sing ora isa mati. Kekuatan leluhur sing bakal urip murup nembus jaman lan ngondar andir bawana! (di dalam hati kita ada kekuatan yang tak pernah mati.

Kekuatan leluhur yang terus menyala menembus jaman dan melanglang dunia). Antara tiga naskah dalam buku ini favorit saya adalah Mak, Ana Asu Mlebu Omah! Yang lucu dan absurd tapi merujuk kepada peristiwa yang sungguh dan sering terjadi di kampung-kampung zaman sekarang.

Pembaca-pembaca lain akan mempunyai pilihan sendiri. Semuanya menyampaikan warna khas kampung Yogya/Indonesia masa kini, dengan semua perpecahan dan ketidakpastiannya dalam menghadapi tekanan kehidupan modern, tapi juga dengan kehangatan dan rasa kebebasan, ketangguhannya dalam proses bertahan hidup. Selamat membaca!

Barbara Hatley

Penulis

Andy Sri Wahyudi - Dikenal juga dengan nama Eswe di kalangan pergulannya, Andy lahir di Yogyakarta 1980. Aktif berteater sejak masih sekolah di SMA Sang Timur, Yogyakarta. Hingga kini ia aktif berkegiatan teater dan pantomime terutama bersama kelompoknya, Bengkel Mime Yogyakarta. Andy juga pernah menjadi motor kelompok Teater Temmu pada 2006-2015 yang merupakan kelompok teater wadah bagi remaja dan pemuda di kampungnya (Minggiran, Mantrijeron, Yogyakarta). Dari dinamika teater Temmu lahir beberapa naskah berbahasa Jawa dengan nuansa kritik sosial ala kehidupan kampung kota di Yogyakarta. Selain menulis drama, Andy juga menulis puisi dan cerpen.

Daftar Isi

Cover
Daftar  Isi
Pengantar
Pambuka
1. Lelakon
     Ringkesan Crita
     Lakon-Lakon Ing Lelakon
     Adegan Pambuka
     Adegan Lik Kawit Ceramah
     Adegan Cahyadi Wuyung
     Adegan Semlempit: Cempluk Ngudang Bayine
     Adegan Kenangane Samsinah
     Babagan Anyar Adegan Cahyadi Lan Pitik Kinasihe
     Adegan Nurdin + Siti = Cinta
     Adegan Paseduluran: Nanang Lan Kajine Amat Sugeh
     Adegan Lelakone Cahyadi
     Adegan Uluk Salam
2. Mak, Ana Asu Mlebu Ngomah
3. Ora Isa mati
     Ringkesan Carita
     Babak I: Adegan Pambuka
          Adegan 1
          Adegan 2
          Adegan 3
          Adegan 4
     Babak II
          Adegan 1
          Adegan 2
          Adegan 3
          Adegan 4
          Adegan 5
     Babak III
          Adegan 1
          Adegan 2
     Babak IV
          Adegan 1
          Adegan 3
          Adegan 4
          Adegan 5
     Babak V
Kata Penutup
Komentar Dari Teman - Teman
Perihal Penulis