Aturan, Ada masa-masanya kita bosan diatur-atur. Biasanya, itu terjadi saat kita merasa semua orang di lingkungan kita nggak sependapat alias protes melulu terhadap perilaku yang kita suka. Misalnya, perilaku suka bangun siang, atau malah tidur larut malam, yang suka bikin gerah orang rumah. Atau perilaku kita yang lebih senang nongkrong bareng teman ketimbang jalan bareng dia, yang pasti bikin gebetan blingsatan. Di sekolah? Jangan tanya lah. Seragam keluar sedikit, pasti ditegur. Baru juga berusaha untuk numbuhin kumis atau brewok biar kekinian, sudah diancam untuk cukur paksa.
Nggak boleh telat, nggak boleh lupa ngerjain tugas, nggak boleh ini, nggak boleh itu… Blablabla. Banyak lagi aturan lain yang ujungnya bikin kita bosan diatur-atur. Ya nggak? Nyebelin memang. Ngebosenin, itu sudah pasti. Faktanya terlalu banyak aturan juga biasanya malah bikin kita stres. Nggak kreatif, nggak imajinatif, nggak “hidup”. Sepakat (pakai) banget. Tapi di sisi lain, kalau nggak ada aturan-aturan, nggak kebayang bakalan jadi apa kita atau hidup kita. Lha wong, yang sudah jelas-jelas ada aturannya pun sering banget dianggap nggak ada hingga hasilnya malah bikin ruwet sendiri? Itu contohnya lalu lintas di Jakarta. Aturan lengkap, polisi ada, tetap saja dianggap angin. Saat macet, ngomel sendiri.
Saat lalu ada kecelakaan, kaget atau panik berjamaah. Aneh. Intinya, aturan itu sejatinya muncul karena seringkali orang nggak bisa mengatur hidupnya sendiri hingga butuh panduan buat berbuat dan berperilaku bahkan bersosialisasi dengan orang lain. Nah, terus gimana dong? Ya nggak gimana-gimana. Tapi yang mungkin bisa (dan sebaiknya selalu) dilakukan adalah bertanya atau mempertanyakan: dasar atau latar belakang dari aturan-aturan itu. Kenapa sampai dibuat, juga apa tujuannya. Kalau nggak jelas, atau nggak bisa dijelaskan, bisa jadi memang dibuat-buat saja. Dan sesuatu yang dibuat-buat biasanya ujung-ujungnya ya jadi-jadian, alias nggak beres. Sesimpel itu.