Ada satu minggu di 2014 yang George lewati tanpa melakukan apapun. Nggak ada satu lumpuh pada tubuhnya, nggak ada dahaga pula yang menggerogotinya. Tapi ada seribu satu kecemasan, bersekutu dengan seribu satu keheranan dan ketakutan dengan jumlah tak terkira, merundung semangat hidupnya.
Jangankan berbicara, untuk makan pun ia nggak kuasa. Empat hari ia lewati tanpa merasa butuh asupan sedikitpun. Berat badannya terampas 20 kg.
George divonis mengidap HIV di kali keempatnya tes VCT.
Saat itu, George sudah melewati masa 22 tahun hidup dan menikmatinya, namun di titik itu, George tak tahu bagaimana harus melanjutkannya. “Apakah aku bisa menikah? Apakah aku masih punya waktu hidup yang lama? Bagaimana aku bisa membahas ini dengan orangtua?” Sederetan pikiran buruk jadi ancaman semu yang “melumpuhkan”.
Sejak saat itu, segala obat yang wajib dikonsumsinya, selalu ia beli dengan gaji hasil kerjanya sebagai desainer fesyen freelance sejak lulus SMA.
Gejala-gejala yang mengganggu di dalam tubuhnya pun bisa sedikit teratasi. Tapi bagaimana dengan mentalnya? Pertama, terima bahwa kita mengidap penyakit itu.
Untuk penyakit ini, pilihan pertama belum bisa terjadi, sementara pilihan kedua pun sulit George jalani. Karena itu, George merasa satu-satunya cara memulihkannya adalah dengan mengasingkan diri.
“Ayahku sudah almarhum, yang ada cuma mama. Aku bohong aja ke mama,” ujar George mengenang, “Aku bilangnya pengin cari kerja ke Jawa Tengah dan pergi dari Bandung. Selama satu tahun aku tinggal di rumah sahabatku di sana. Niatnya, aku ingin bisa menerima kenyataan bahwa diri aku udah terkena HIV.” George adalah nama samaran, kamu perlu tahu itu, tapi ceritanya yang sungguhan ini tak perlu disembunyikan. Hidup memang kadang tak terduga, kawan.
Sebelumnya, George memang menjalani hidup yang kelewat bebas. Penyuka sesama jenis ini kerap berhubungan seks tanpa kondom dengan kenalan baru yang ia temui di klub malam, mengonsumsi alkohol, serta mengisap ganja.
“Dulu aku belum terpapar informasi yang baik, aku sembarangan aja (berhubungan seks. RED) dan gonta-ganti pasangan,” akunya.
Setelah satu tahun di Jawa Tengah, waktu George udah bisa terima keadaannya itu, keberanian George terkumpul. Ia mantap ingin kembali ke keluarga.
“Aku beranikan diri untuk cerita via telepon ke anggota keluarga terdekat, kakak kandungku. Dia sangat friendly dan deket banget sama aku,” katanya.
George pulang. Tanpa merasa perlu menjelaskan bagaimana penularannya, George mengajak keluar besar ke rumah sakit untuk melihat hasil tes VCT yang ia lakukan sekali lagi. Hasilnya dibuka oleh dokter yang kemudian menjelaskan ke keluarga George.
“Keluarga sempat nangis semuanya,” curhat George di Rumah Cemara, yayasan penyuluh ODHA, di Bandung, beberapa waktu lalu. ”Aku nggak boleh ke mana-mana selama lima bulan, sekalipun ke mana-mana ya diantar, mau ke manapun ditanya sama siapa harus jelas tujuannya.” Masa kungkungan itu nggak berlangsung lama. Lepas dari bulan kelima, yang didapat George justru adalah limpahan kasih sayang yang bahkan belum pernah ia dapat sebelumnya, terutama dari ibunya.
“Mamaku selalu menemani dan mendukung aku, ketika jam minum obat sudah datang, aku selalu diingatkan untuk minum obat, dan ketika obat sudah habis aku selalu diingatkan untuk ambil obat di rumah sakit,” akunya.