Tampilkan di aplikasi

AIDS beda dengan HIV

Majalah Hai - Edisi 43/2016
13 Desember 2016

Majalah Hai - Edisi 43/2016
Hai
bukan saja virus HIV saja, melainkan juga stigma negatif yang nempel di kepala banyak orang. Fakta nggak enaknya, nggak semua ODHA bisa diterima keluarga.

Cap buruk dan tindakan diskriminatif terhadap ODHA bisa dilakuin oleh siapapun: mulai dari lingkungan masyarakat, teman sepermainan, bahkan keluarga terdekat.

Malah, stigma bisa tumbuh dari diri si pengidap sendiri.

Cerita Maria, nama samaran, bisa jadi contoh. Cewek 22 tahun ini walau sudah 3 tahun menjadi ODHA, belum juga diterima keluarganya dengan baik.

“Pakaian, piring, gelas, seprei, sampai baju saya yang dulu bisa tukertukeran,” Maria mulai bercerita tentang masa awalnya divonis HIV, dengan suara bergetar, “Sekarang dibedakan sendiri, dan itu berlanjut sampe saat ini. Kalo batuk pun harus pakai masker. Saya dikucilkan, ditaruh di kamar paling belakang.” Itu baru ketika keluarga inti yang tahu.

Setelah akhirnya keluarga besar tahu, pemisahan yang paling nggak diharapkan pun diberlakukan.

“Saya dipisahkan dengan anak saya.

Anak saya, kan, negatif, saya positif. Mereka pikir kalo dekat-dekat sama saya, nanti anak saya ketularan. Saya lagi nyari usaha biar saya bisa ketemu lagi sama anak saya,” paparnya Keluarga Maria adalah keluarga taat agama. Bagi mereka, ODHA adalah sinonim dari si nakal, yang bergaya hidup kelewat bebas.

“Padahal saya kan nggak melakukan itu semua,” kata Maria.

Maria nggak melakukan satu kenakalan pun seperti yang dituduhkan keluarganya itu. Ia terinfeksi HIV sejak menikah, tertular dari suaminya yang memang sempat rutin melakukan perilaku berisiko, yaitu dia mantan junkies dan suka “jajan”.
Majalah Hai di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI