Pinggir atau tengah. “Kita sih nggak mau didikte aja sama label. Kita didikte sama diri sendiri,” begitu tuh potongan kalimat yang pernah keluar dari mulut Rekti Yoewono, pentolan The SIGIT. Dengan logat Sunda, Rekti jawab tegas: pokoknya nggak ada yang boleh ngatur dalam berkesenian.
Hehhmm… Idealis? Keras kepala? Tergantung, sih. Sebagai pekerja seni, Rekti dan The SIGIT (yang sekarang tambah banyak, macam Barasuara, Scaller, Stars and Rabbit, Taring dan Payung Teduh cuma kepengen karya mereka dinilai secara utuh dan mereka udah tahu siapa yang akan jadi kawan (baca: pembeli karya). Dan, paling penting, mereka bikin karya dengan hati senang, kepala riang. Nggak ada tuh, kekuatiran, “Duh, bakal ada yang beli nggak ya?” Jadi, kenapa harus takut bikin karya? Inget ya, bro. Kita lagi nggak ngebahas, garis pemisahan sebuah genre musik. Itu tuh mainstream, yang ini sidestream.
Zaman milenia baru gini, pilihan benar-benar ada di tangan kita.
Ada banyak layanan streaming musik (yang juga bisa download, biar nggak makan kuota) yang bisa kita pilih buat memanjakan telinga. Bikin aja playlist lagu atau band yang biasanya kita dengerin pas belajar, pulang sekolah atau lagi nyantai. Siapa tau malah tambah banyak teman, karena punya followers yang juga punya kesamaan selera. Yang penting: “kamu senang, saya pun bahagia.” Ujungnya, teman-teman Efek Rumah Kaca, udah bilang dengan tegas: “kami hanya akan mencipta; segala apa yang kami cinta, bahagia” Yap, pasar bisa diciptakan, bro! Entah itu, dari pinggir ke tengah atau sebaliknya.