Tampilkan di aplikasi

Arus pinggir

Majalah Hai - Edisi 03/2017
6 Maret 2017

Majalah Hai - Edisi 03/2017

Bottlesmoker selalu menggartiskan karya-karyanya di internet, sharing is caring adalah konsep mereka usung. / Foto : Ardhan WP

Hai
rus itu bernama sidestream, yang secara harfiah berarti arus pinggir, tempatnya para musisi yang idealis memperdengarkan musik berkualitas sesuai seleranya, walau nggak seterkenal mereka yang di mainstream.

Sidestream emang bukan hal baru sih. Kalo balik ke era ’80-an, sekumpulan anak-anak gondrong yang doyan nongkrong di pelataran parkiran Apotik Retna di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, tanpa sadar jadi pionir sebuah perubahan. Pergerakan arus pinggir musik cadas Indonesia diawali dari pelataran parkiran apotek. Nggak percaya? Merekalah cikal bakal band Roxx, Rotor, Parau dan Sucker Head yang jadi motor arus pinggir musik cadas negeri ini di tahun 80-an.

Kenapa arus pinggir? Ya, karena di blantika musik rock pada masa itu, yang jadi arus utama alias mainstream-nya adalah musik kayak Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla dan Nicky Astria.

“Kami nggak menikmati musik mainstream saat itu. Kayak Nicky Astria, Anggun C. Sasmi, menurut kami kurang asik, kurang kenceng,“ celoteh Haryo Pramoe, drummer Parau.

Maka kiblat pun mereka geser ke luar negeri. Metallica, Anthrax, Sepultura dan Kreator lantas jadi panutan. Dan sebuah arus lain tercipta, sampai mengubah cara bermusik para rocker pada saat itu. Rock pun digusur metal. Komunitas musik underground bertebaran di mana-mana.

Arus tersebut nggak berhenti sampai di situ, di tahun ’90-an, musik britpop dan punk muncul ke permukaan, mempengaruhi anak-anak muda untuk “menjajah” bar dan kafe kecil di Ibukota untuk mengadakan gigs yang bisa menampung musik mereka.

Di era ini istilah indie sebagai singkatan dari independen, jadi suatu yang keren.
Majalah Hai di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI