Imam Nawawi
Ulama yang lahir pada bulan Muharram 631 H di sebuah desa bernama Nawa.
Sang ayah bercerita, ada sesuatu yang terjadi pada Imam an-Nawawi ketika masih berusia tujuh tahun. Pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, ia membangunkan sang ayah seraya berkata, ”Wahai ayah, cahaya apa yang menerangi rumah kita?” Seluruh keluarga terbangun namun mereka tak mendapatkan apapun. Sang ayah pun berkata, ”Aku baru tahu jika pada malam itu adalah lailatul qadar.” (Thabaqat asy-Syafi`yah al-Kubra, 8/396).
Saat Imam an-Nawawi berumur sepuluh tahun, sang ayah membawanya ke toko. Meski demikian, ia tidak disibukkan oleh jual-beli tapi membaca al-Qur`an. Waktu itu, seorang ulama shalih dari Marrakech, sebuah kota di Maghrib (Maroko) yakni Syaikh Yasin bin Yusuf, melalui desa Nawa dan menyaksikan an-Nawawi menolak bermain dengan teman sebayanya, hingga ia menangis tatkala teman-temannya memaksanya. Ia pun memilih membaca al-Qur’an. Melihat hal itu, ulama itu pun menyampaikan kepada sang ayah, ”Anak kecil ini, aku harap kelak menjadi orang yang paling alim (pandai) dan zuhud di zamannya, bahkan manusia mendapatkan manfaat darinya.” (Tuhfah ath-Thalibin, hal. 3).
Menuntut Ilmu di Damaskus
Setelah itu, Imam an-Nawawi menuntut ilmu di Damaskus pada beberapa ulama, salah satunya Syaikh Kamal Ishaq al-Maghribi. Ulama inipun menyediakan tempat tinggal untuknya di Madrasah ar-Rawahiyah. (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, 8/397)
Di masa menuntut ilmu, ia memanfaatkan waktu yang di miliki baik siang maupun malam untuk belajar. Bahkan waktu pulang dan pergi dari majelis ilmu ia gunakan untuk mengulangi dan menghafal apa yang diperoleh. (Terjamah an-Nawawi li as-Sakhawi, hal. 11, 12).
