Tampilkan di aplikasi

Harga tertekan, saat cengli investasi properti

Majalah Housing Estate - Edisi 180
6 Agustus 2019

Majalah Housing Estate - Edisi 180

Citraland Cirebon

Housing Estate
Sebagian besar kaum milenial menyatakan tetap ingin punya rumah sendiri. Tapi, kalau ditanya apa yang sudah dilakukannya untuk mewujudkan hal itu, jawabannya kontradiktif. Yang didahulukan tetap mencari pengalaman (experience) seperti traveling, hangout, atau membeli kendaraan, bukan menyisihkan penghasilan untuk depe rumah.

Survei sebuah bank asing di Jakarta dan perbincangan HousingEstate dengan sejumlah anak muda di berbagai kesempatan mengkonfirmasi kontradiksi itu. Semua ingin hidup lebih mapan, yang antara lain ditandai dengan kepemilikan rumah. Tapi, hanya sebagian kecil yang menabung depe rumah. “Rata-rata very short term cara berpikirnya. Yang penting bisa foto di Instagram, rumah belakangan.

Lebih baik sewa. Bosan, tinggal pindah. Mereka bilang, punya rumah itu ribet, harus nyicil dan merawat. Anak muda sekarang paling menghindari terikat yang membuat hidup mereka tidak fleksibel. Mereka anggap kalau punya rumah, susah pindah ke kota lain atau ke luar negeri, atau mobile,” kata Handayani, Direktur Konsumer Bank BRI. Padahal, rumah juga sekaligus investasi. Jadi, bukankah lebih baik uang sewa itu untuk nyicil rumah?

Pada suatu titik harga rumah sudah sulit dijangkau, karena kenaikannya selalu lebih cepat dibanding kenaikan gaji. “Anak muda harus belajar menyisihkan 20-30 persen gajinya untuk cicilan rumah. Saya enam bulan setelah bekerja, tabungan saya sudah cukup untuk depe rumah tipe 36/70 seharga Rp21 juta di Mulyosari, Surabaya. Tenor KPR-nya 20 tahun. Setelah 15 tahun, rumahnya saya jual Rp600 juta,” katanya.
Majalah Housing Estate di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI