Setahun yang lalu, Dropbox menuntaskan salah satu migrasi reverse cloud terbesar yang pernah terjadi di dunia. Penyedia layanan penyimpanan dokumen dan kolaborasi berbasis cloud ternama ini memindahkan sekitar 600 petabyte data dari cloud Amazon ke data center on premise. Apakah langkah Dropbox ini “melawan” tren yang sedang terjadi saat ini, yaitu tren organisasi bisnis memindahkan beban kerjanya ke cloud? Awalnya Dropbox memang menyukai skema penyimpanan data di Amazon S3 dan metadata di infrastruktur on premise.
Namun seiring perkembangan bisnis, para petinggi Dropbox melihat ketergantungan pada public cloud berpotensi menimbulkan struktur biaya tinggi. Akan lebih efi sien bagi Dropbox jika storage dipindahkan ke infrastruktur on premise. Pertimbangan lain yang lebih penting adalah Dropbox akan memiliki kontrol lebih besar terhadap data dan dan dapat terus meningkatkan kemampuan layanan storagenya.
Dropbox tidak sepenuhnya meninggalkan cloud. Untuk melayani pelanggannya di Eropa, Dropbox masih mengandalkan public cloud karena lebih efi sien. Dengan infrastruktur hybrid, menurut CEO Drew Houston, Dropbox justru meraih manfaat fl eksibilitas antara public cloud dan infrastruktur on premise. Bagi sebagian organisasi bisnis, (public) cloud menjadi tujuan utama. Namun bagi sebagian yang lain, menurut hasil riset Forrester, pilihan antara cloud atau on premise adalah proses menyesuaikan dan menakar keseimbangan secara terus menerus.
Pilihan lain, yaitu strategi hybrid, memberi keleluasaan dan fl eksibilitas bagi perusahaan, serta dapat menjadi langkah antara sampai perusahaan merasa nyaman dan yakin dengan cloud. Hasil diskusi InfoKomputer dengan para pemimpin TI Indonesia di acara CIO Forum bulan Juli lalu pun mengerucut pada fakta bahwa peralihan ke cloud masih berjalan perlahan. Masih ada ganjalan dan pertimbangan yang mereka pikirkan. Pemaparan selengkapnya tentang topik ini kami tuangkan dalam rubrik Cover Story bulan ini.