Akhir-akhir ini media barat kerap menggunakan istilah “retail apocalypse” untuk mendeskripsikan dampak perubahan pola consumer spending terhadap model bisnis toko retail brick and mortar. Terdengar kontroversial, bahkan mengerikan bagi sebagian orang. Benarkah bisnis retail sedang menjemput senjanya lebih awal?
Yang jelas di Amerika Serikat, korban “kiamat” retail ini mulai berjatuhan. Beberapa peritel ternama, seperti Toys R Us, Macy’s, dan Sears, satu persatu tumbang atau megap-megap bertahan. Kenyataan itu seakan menguatkan ramalan tentang usainya peran gerai atau toko fi sik.
Meski toko-toko online atau e-commerce yang sukses, seperti Amazon dan Alibaba, disebut-sebut sebagai faktor utama yang mengubah lanskap bisnis retail brick and mortar. Namun jangan lupakan faktor-faktor seperti persaingan pusat perbelanjaan, perubahan pola consumer spending, dan, yang pasti, kemajuan teknologi mobile.
Tak ingin terjungkal di awal transformasi digital, para peritel matimatian melancarkan aneka strategi, misalnya memberi pengalaman belanja yang berbeda dengan belanja online, menawarkan harga lebih murah di gerai o ine, memadukan kelebihan toko fi sik dan maya, dan lain-lain.
Jika kata apocalypse begitu menakutkan bagi bisnis, akankah “kutu” pada software atau software bug memperoleh perhatian perusahaan? Isu bug pada software mungkin terlihat sangat kecil atau sepele di tengah isu-isu persaingan bisnis masa kini. Namun ternyata berpotensi merugikan bahkan menjungkalkan bisnis dalam sekejap mata.
Anda tentu tak ingin si kutu mengganggu libur akhir tahun yang indah ini, bukan? Nah, mungkin Anda perlu menyimak sejenak Cover Story InfoKomputer edisi Desember ini tentang pengalaman Citilink dan Bukalapak dalam menghadapi si kutu pengganggu bisnis. Di halaman lain, kisah sukses para peritel dalam memanfaatkan teknologi mungkin juga bisa menjadi “bahan melamun” di akhir tahun.