Supremasi Super Apps. Di tengah sebuah konferensi pers peluncuran aplikasi mobile milik sebuah rumah sakit, seorang wartawan bertanya, “Berapa besar optimisme Anda bahwa aplikasi ini akan diunduh dan dimanfaatkan pengguna?”. Di tengah proliferasi masif aplikasi mobile di berbagai bidang saat ini, pertanyaan tersebut agaknya harus menjadi perhatian organisasi bisnis yang sedang mempertimbangkan tren mobile apps.
Meski ruang simpan di smartphone terus bertambah, berapa banyak aplikasi yang benar-benar kita butuhkan dan kita unduh? Dan berapa lama aplikasi itu bisa bertahan di perangkat kita sebelum akhirnya kita uninstall? Menurut hasil survei comScore di Indonesia, hanya ada beberapa jenis aplikasi dengan reach cukup signifi kan dan cukup lama dibuka oleh user: messaging dan media sosial. Artinya, masih adakah peluang bagi aplikasi lain untuk berada dalam genggaman dan perhatian user? Hal ini menjadi penting bagi organisasi bisnis karena pengembangan aplikasi mobile, terlebih lagi aplikasi untuk enterprise, membutuhkan biaya yang cukup besar.
Untuk membuat aplikasi single platform semacam Uber, misalnya, dibutuhkan anggaran sekitar US$30.000 – US$35.000 dengan hourly rate developer sebesar US$50 (sumber: ThinkMobiles.com). Ongkos untuk membuat aplikasi enterprise mobile bahkan lebih mahal lagi, US$100.000 sampai US$500.000.
Situasi ini diprediksi akan memunculkan fenomena super apps atau intelligent apps. Inilah aplikasi yang akan memampukan user menyelesaikan semua urusan melalui satu aplikasi saja. Pertanyaan selanjutnya tentu saja, siapakah yang akan meraih supremasi sebagai super apps?