Tanggal 17 April 2019 adalah hari yang melelahkan bagi Sumarsilah. Sebagai petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara) di TPS 47, Desa Semanu, Gunung Kidul, Yogyakarta, Sumarsilah memulai tahapan pemilu sejak pukul enam pagi. Dimulai dengan pembacaan tata tertib acara, kesibukan Sumarsilah baru sedikit mereda jelang berakhirnya periode pencoblosan pada pukul 13.00.
Namun, setelah itu Sumarsilah dan tim kembali disibukkan dengan melakukan perhitungan suara. Karena melibatkan pemilihan presiden dan DPR/ DPRD, perhitungan suara baru berakhir pukul 20.00. Setelahnya, lanjut lagi dengan pengisian formulir C1 yang jumlahnya berlembar-lembar. Pada pukul enam pagi keesokan harinya, barulah Sumarsilah bisa bernapas lega. “Capek sekali, Mas,” ujar wanita itu ramah sambil tertawa kecil.
Sayangnya, kisah Sumarsilah belum seberapa dibanding kesibukan sang suami yang bertugas sebagai petugas KPPS di level kecamatan. Selama berhari-hari, sang suami harus bekerja siang-malam mengumpulkan perhitungan suara dari tiap TPS. Kesibukan akan berlipat jika ada ketidakcocokan antara jumlah kertas pemilu yang dikirim dan yang kembali. “Kalau kejadian kayak gitu, kotak suara langsung dibongkar dan dihitung ulang,” cerita Sumarsilah.
Dengan intensitas kerja yang demikian tinggi, tak heran jika kabar sedih datang dari seluruh Indonesia. Tak kurang dari 300 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan dalam mengerjakan tugasnya. Ketika pemilu sering disebut sebagai pesta demokrasi, berpulangnya ratusan sukarelawan penyelenggara pemilu menjadi sebuah catatan hitam yang tragis.
Karena itulah, muncul wacana penggunaan e-Voting atau pemungutan suara elektronik. Konsep e-Voting pada intinya memanfaatkan sistem teknologi informasi untuk melaksanakan tiap tahapan pemilihan, mulai dari proses registrasi, pemilihan, sampai perhitungan suara. Karena berbasis elektronik, e-Voting menjanjikan tahapan pemilihan umum yang lebih cepat dan efisien.
