Inovasi dengan hati-hati
“Move Fast and Break Things” Itulah salah satu ucapan paling terkenal dari CEO Facebook, Mark Zuckerberg. Melalui ucapan tersebut, Zuckerberg ingin menegaskan pentingnya perusahaan untuk bergerak dengan cepat tanpa terlalu memikirkan hambatan yang dihadapi. Jika kemudian mentok pada satu masalah, baru kita pikirkan solusinya.
Sebenarnya, Zuckerberg mengatakan hal tersebut pada konteks internal design dan management process. Jadi, ucapan tersebut sebenarnya relevan jika diletakkan dalam konteks yang tepat. Namun ucapan yang sama sering menjadi mantra industri digital startup untuk menjustifi kasi kecepatan mengeluarkan produk. Bahkan atas nama inovasi, sebuah produk seringkali mengabaikan regulasi yang sudah ada. Mereka yang memperingatkan pentingnya kehati-hatian justru dianggap anti-inovasi dan ketinggalan jaman.
Namun pengalaman menunjukkan, sikap kehati-hatian seharusnya tetap menyertai setiap inovasi. Jika tidak, inovasi hanya menjadi kesuksesan sesaat yang menyesatkan. Hal ini tercermin dari bencana industri P2P lending yang kini melanda China. Sempat menjadi rujukan banyak pihak, industri P2P lending China kini nyaris hancur. Jumlah perusahaan P2P lending China di tahun 2019 menjadi 343 buah, padahal di tahun 2016 jumlahnya mencapai 2860 buah. Bukan cuma itu. Masyarakat yang terlanjur menginvestasikan uangnya ke layanan P2P lending kini harus gigit jari.
Setidaknya US$1,5 miliar dana masyarakat kini tidak tahu rimbanya akibat semrawutnya tata kelola perusahaan P2P lending. Tentu, kita tidak ingin fenomena yang sama terjadi di Indonesia. Apalagi, P2P lending sebenarnya memiliki potensi untuk menjawab kebutuhan finansial sebagian besar masyarakat Indonesia yang masuk kategori unbanked segment. Karena itulah di Cover Story kali ini, kami mengumpulkan opini dari berbagai pihak tentang bagaimana menjaga industri P2P lending di Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, semua kejadian itu mungkin memunculkan sebuah hikmah tersendiri. Boleh saja berinovasi, asal tetap berhati-hati.