Tampilkan di aplikasi

Buku Kanaka hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Inkulturasi Ajaran Tauhid Sunan Kalijaga dalam Cerita Pewayangan

1 Pembaca
Rp 57.000 16%
Rp 48.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 144.000 13%
Rp 41.600 /orang
Rp 124.800

5 Pembaca
Rp 240.000 20%
Rp 38.400 /orang
Rp 192.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sebelum pembaca menelaah buku ini, (maaf) penulis kerap tiba-tiba meneteskan air mata secara spontan, mendengar paparan Ki Narto Sabdo (almarhum) saat mengungkapkan cerita yang menyedihkan dalam sebuah lakon. Rasanya hati ini terpukul, seraya mengidentifikasi diri, betapa hancurnya hati ini seandainya pelaku dalam cerita itu adalah saya. Benar-benar menyentuh perasaan. Sulit penulis memilih bagaimana saya harus berbuat. Sehingga air mata meleleh dari ledakkan hati dan perasaan yang dalam. Yang jelas kisah itu dapat mengetuk lubuk hati menjadi lunak dan penuh rasa cinta, rasa kasih sayang kepada sesama. Maka penulis berandai-andai, betapa besar kekuatan pengaruh piwulang wayang yang diwejang oleh Ki Narto Sabdo untuk menanamkan ajaran agama kepada pendengar.

Dengan terbitnya buku ini semoga bermanfaat bagi para mubaligh atau du'at dalam menyampaikan seruan agama dan kegiatan dakwah, khususnya kepada para budayawan dan orang-orang yang mengenal wayang. Demikian juga, bagi para dalang yang ingin memperoleh keuntungan ganda, keuntungan dunia-akhirat, sekaligus berperan ganda sebagai dalang dan menjadi mubaligh atau juru dakwah saat pagelaran.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Drs. H. Gunari M. Hasan
Editor: Fatimah Djufro / Bagus Wijanarko / Ki Setyo Handono

Penerbit: Kanaka
ISBN: 9786237029366
Terbit: Februari 2019 , 96 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Sebelum pembaca menelaah buku ini, (maaf) penulis kerap tiba-tiba meneteskan air mata secara spontan, mendengar paparan Ki Narto Sabdo (almarhum) saat mengungkapkan cerita yang menyedihkan dalam sebuah lakon. Rasanya hati ini terpukul, seraya mengidentifikasi diri, betapa hancurnya hati ini seandainya pelaku dalam cerita itu adalah saya. Benar-benar menyentuh perasaan. Sulit penulis memilih bagaimana saya harus berbuat. Sehingga air mata meleleh dari ledakkan hati dan perasaan yang dalam. Yang jelas kisah itu dapat mengetuk lubuk hati menjadi lunak dan penuh rasa cinta, rasa kasih sayang kepada sesama. Maka penulis berandai-andai, betapa besar kekuatan pengaruh piwulang wayang yang diwejang oleh Ki Narto Sabdo untuk menanamkan ajaran agama kepada pendengar.

Dengan terbitnya buku ini semoga bermanfaat bagi para mubaligh atau du'at dalam menyampaikan seruan agama dan kegiatan dakwah, khususnya kepada para budayawan dan orang-orang yang mengenal wayang. Demikian juga, bagi para dalang yang ingin memperoleh keuntungan ganda, keuntungan dunia-akhirat, sekaligus berperan ganda sebagai dalang dan menjadi mubaligh atau juru dakwah saat pagelaran.

Pendahuluan / Prolog

Pembuka Harja
Syukur alhamdulillah, penulisan buku yang awalnya berjudul PENETRASI AJARAN ISLAM DALAM PEWAYANGAN ini dapat terselesaikan. Dan atas pertimbangan, maka buku sederhana ini berubah judul baru INKULTURASI AJARAN TAUHID SUNAN KALIJAGA DALAM CERITA PEWAYANGAN.

Latar belakang berubahnya judul karena misi Sunan Kalijaga adalah membumikan Islam di bumi Nusantara secara kaffah, sehingga perlu pembumian ajaran Tauhid ini lewat budaya , yakni budaya baru dimasukkan pada budaya lama agar konsep islam mudah diterima oleh masyarakat luas, tetapi tidak merobah konsep dalam budaya lama. Sehingga secara perlahan, halus, penuh etika, cermat, dan jangka panjangnya adalah ajaran tauhid ini bisa membudaya, membumi di bumi Nusantara ini. Itulah metode penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga, mudah-mudahan pembaca peroleh manfaat dari buku sederhana ini.

Sebelum pembaca menelaah buku ini, (maaf) penulis kerap tiba-tiba meneteskan air mata secara spontan, mendengar paparan Ki Narto Sabdo (almarhum) saat mengungkapkan cerita yang menyedihkan dalam sebuah lakon. Rasanya hati ini terpukul, seraya mengidentifikasi diri, betapa hancurnya hati ini seandainya pelaku dalam cerita itu adalah saya. Benar-benar menyentuh perasaan. Sulit penulis memilih bagaimana saya harus berbuat. Sehingga air mata meleleh dari ledakkan hati dan perasaan yang dalam. Yang jelas kisah itu dapat mengetuk lubuk hati menjadi lunak dan penuh rasa cinta, rasa kasih sayang kepada sesama. Maka penulis berandai-andai, betapa besar kekuatan pengaruh piwulang wayang yang diwejang oleh Ki Narto Sabdo untuk menanamkan ajaran agama kepada pendengar.

Dengan terbitnya buku ini semoga bermanfaat bagi para mubaligh atau du'at dalam menyampaikan seruan agama dan kegiatan dakwah, khususnya kepada para budayawan dan orang-orang yang mengenal wayang. Demikian juga, bagi para dalang yang ingin memperoleh keuntungan ganda, keuntungan dunia-akhirat, sekaligus berperan ganda sebagai dalang dan menjadi mubaligh atau juru dakwah saat pagelaran.

Prinsip dakwah adalah mengetuk hati, membuka selubung gaib yang menutup hati yang beku agar terbuka menerima hidayah dari Allah, mau mengubah keyakinan yang salah dan perbaikan akhlak, sikap, tingkah laku sesuai dengan ajaran agama Islam, secara perlahan dan tak terasakan seperti merembesnya air ke dalam pasir.

Penulis menyadari keterbatasan kemampuan mengungkap rahasia hikmah di balik cerita pewayangan dengan bahasa yang mudah dipahami, serta keterbatasan pengetahuan tentang pewayangan. Hal ini tentu mengundang kritik terutama dari kalangan yang tidak senang kepada wayang atau orang yang lebih luas wawasannya tentang wayang. Walaupun demikian, penulis yakin ada rumput hijau yang tumbuh di tengah kotoran sapi. Tiada rotan akar pun jadi. Bukankah berdakwah itu harus melihat animo dan budaya pendengar serta menggunakan bahasa mereka, bahasa yang sesuai dengan alam pikiran mereka. Maka pelan-pelan akan timbul ketertarikan kepada seruan agama.

Cerita dalam pewayangan dikarang dan ditulis oleh filosof dan budayawan yang sangat halus perasaannya. Sehingga mampu menembus liku-liku dan sudut kehidupan masusia. Tersebut dan diakui siapa Rajagopalachari yang dianggap orang suci di India menulis kisah Ramayana. Resi Wiyasa dan Walmiki menulis kisah Mahabarata.

Ternyata dalam perkembangan wayang di Pulau Jawa, yang konon diprakarsai Sunan Kalijaga, telah mengalami perkembangan dengan menambah dan memasukkan cerita dan figur baru. Semisal, pusaka andalan Prabu Yudhistira, raja Amarta, yang terkenal dengan nama JAMUS KALIMASADA, yang artinya "Jatikaning Mustika Kalimah Syahadat". Maksudnya bahwa seutama-utama pegangan hidup manusia adalah dua kalimah syahadat yang menyatakan bahwa "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasululloh". Cerita ini tak ditemui dalam kisah Mahabarata yang berasal dari India. Demikian juga figur punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Tidak menyangkal, bila sebagian Muslim di Jawa menganggap bahwa wayang itu termasuk mengembangkan budaya syirik, dakwah yang tidak efisien, melanggar syariah Islam dan madlorotnya lebih besar dari pada manfaatnya. Mungkin orang yang berpendapat seperti ini hanya melihat efek samping pagelaran wayang kulit. Tetapi bila membaca buku dan mencermati alur cerita sesungguhnya di situ banyak rahasia hikmah perjalanan hidup manusia dan pembinaan akhlaqul karimah.

Akhirnya terserah kepada siapa yang dapat mengambil pelajaran dari buku ini untuk kemaslahatan manusia, khususnya pecinta wayang sesuai dengan bimbingan rohani yang Islami. Yang jelas ini adalah ceritera, bukan realita sejarah. Cerita mitos itu tidak dapat dipersalahkan seandainya berbeda dengan pembaca. Karena yang menyalahkan tidak dapat menunjukkan yang benar, benar berdasar realita, data, dan fakta. Dan yang menyalahkan belum tentu dapat menciptakan media dakwah sepopuler pagelaran wayang.

Wa kafaa billaahi syahiida.


Editor

Ki Setyo Handono - Terlahir normal di Brangkulon Tagalombo Pacitan Jawa Timur pada 1966. Ayah bernama Wakidjo al Hardjodarsono, Ibu bernama Nanik Sumarni. Simbah dari Ayah bernama Mbah Martawi pegawai kantor distrik Tegalombo, Mbah Putri bernama Borinem, terus Mbah Djuminah. Sedangkan Simbah dari ibu bernama Suwandi juru tulis Belanda, dan Mbah Putri (nama Jawanya Genduk Marni) beliau asli keturunan orang Belanda, nama Londonya gak tahu deh? Mbah Londo berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang, mata biru, persis wong londo.

Pendidikan saya; pernah sekolah di SD Tegalombo 1, kemudian pernah sekolah di SMP PGRI 13 Tegalombo, dan pernah melanjutkan di SMA 271 Negeri 1 Pacitan jurusan IPS, (dan jurusan Pacitan-Tegalombo, naik bus Aneka Jaya, kalau libur), terus pernah kuliah di Seni Rupa, terus pernah kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, terus pernah kuliah di Megister Panggah Dedel (MPd), atau apalah. Sudah ya ah… bagiku gak penting gak usah diurus pendidikan gue nggak layak ditulis pokoknya.

Pengalaman menulis, mulai kelas satu SD (1971) yakni nulis; ibu budi, bapak budi, paman budi, adik budi, dan teman-teman budi bahkan klas tiga baru lancar menulis pengalaman Budi ketika Budi hidup di sekolah dan masyarakat … ternyata menulis itu asssyyiik …

Daftar Isi

Cover
Secercah Harapan
Motto
Renungan
Pembuka Harja
Pembuka Wacana
Bab I: Silsilah Wayang
Bab II: Alam Ketuhanan
Bab III: Alam Kedewataan
Bab IV: Asal Mula Cerita Wayang
Daftar Bacaan
Tentang Penulis

Kutipan

Pambuka Wacana
Zaman telah berubah. Budaya lama semakin hilang dari khasanah manusia. Wayang sudah tidak disuka generasi muda. Mereka tidak mengenal nama-nama wayang apalagi mengenal bagaimana jiwa pengabdian  seorang raksasa yang bernama KUMBOKARNO. Juga, mengapa lima anak Pandu disebut Pandawa yang tak dapat berpisah dan dipisah. Dan mengapa bila mati satu akan mati semua. Dan lebih unik lagi, mengapa wayang Jawa ada Jatikaning Mustika – JAMUS  KALIMASADA—yang diambil dari ajaran Islam “Dua kalimah syahadat”. Padahal dikisah negeri asal wayang—India—tidak ada.

Rahasia hikmah dari dunia pewayangan perlu disingkap, agar berguna sebagai yang dikehendaki perintis penyebar wayang di Jawa—Sunan Kalijaga?—dapat berfungsi sebagai media dakwah Islam. Demikian juga berguna untuk menghilangkan miss understanding, salah pengertian orang yang belum benar-benar mengerti pengajaran pembentukan karakter, kepribadian, moral, dan akhlak dari cerita wayang.

Mengatakan bahwa wayang adalah ajaran HINDU boleh-boleh saja, karena memang banyak unsur keyakinan Hindu mendominasi dunia wayang. Juga karena asal-usul wayang dari India, asal-usul Agama Hindu.

Ki Dalang, sebagai pemeran utama, sekaligus akan mendapat jabatan rangkap sebagai MUBALIGH atau DAI bila dapat melakukan penetrasi, perembesan, penerobosan, penyusupan  ajaran Islam saat pagelaran wayang. Hal ini tidak salah dan tidak dapat dipersalahkan. Tidak dapat dituntut dan dijerat dengan pasal-pasal KUHP. Juga bukan berarti mencampur aduk ajaran Islam dengan Hindu. Tetapi yang jelas memanfaatkan budaya ini sebagai alat dakwah Islamiyah amar ma'ruf nahi munkar secara halus—bil hikmah wal mau’idhotil hasanah.

Ada kelompok tertentu menilai pagelaran wayang kulit semalam suntuk, pada saat ini tidak efisien untuk berdakwah. Banyak biaya. Mengundang pelanggaran aqidah dan syariah Islam karena melibatkan perempuan sebagai “sinden”, banyak humor yang melupakan dzikrullah, di luar panggung banyak penonton  bermain maksiat di bawah remang-remang lampu merahnya warung kopi atau menggunakan kesempatan untuk berjudi,  dsb. Hal ini perlu sikap bijak, berwawasan luas, baik oleh Ki Dalang  maupun para pecinta wayang, dengan berusaha memperkecil atau menghilangkan madlorot dari sudut pandang Islam. Yang jelas penulis tidak melihat penonton tetapi titik beratnya pada cerita wayang.


Alam Ketuhanan
Dalam pewayangan tidak dikenal istilah dan sebutan  TUHAN, di sini dipakai hanya untuk memudahkan penyebutan dan penalaran. Sedang dalam pewayangan “Tuhan” dikenal dengan sebutan “Sang Hyang” artinya “Yang Maha”. Istilah Sang Hyang dipakai untuk membedakan dengan kedudukan dewa yang bergelar “Bathara” yang artinya orang suci, atau dalam bahasa Islami disebut “maksum” artinya terjaga dari kesalahan.

Sang Hyang Tunggal =  Tuhan Yang Maha Esa Sang Hyang Wenang =  Tuhan Yang Haq disembah Sang Hyang  Wening =  Tuhan Yang Maha Suci Sang Hyang Widiwasa =  Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Hyang Murba ing Dumadi (Murbeng Dumadi )  = Tuhan Yang Maha Pencipta, dan Pemelihara semua makhluq Sang Hyang Jagat Nata = Tuhan Pengatur alam semesta.

SANG HYANG TUNGGAL  Dalam pewayangan Sang Hyang Tunggal,  Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening, Sang Hyang Widiwasa, Sang Hyang Murbeng Dumadi, Sang Hyang Jagat Nata adalah satu personal yang memiliki banyak nama, tidak diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi cukup dalam sebutan. Karena ini mengisyaratkan sifat gaib Sang Hyang Tunggal yang tidak boleh digambar dalam bentuk wayang, tidak dapat dijangkau kemampuan akal dan indera  manusia sebagaimana sifat gaib Allah SWT. Allah itu “wujud”, tetapi kita dilarang memikirkan wujud Allah. Wujud-Nya berbeda dengan  makhluk yang diciptakan-Nya, apalagi ciptaan manusia yang berupa wayang, Subhana Allah, Maha Suci Allah dari segala yang diserupakan. Dosanya tak terampuni bagi pelaku syirik.

Sang Hyang Tunggal dalam ke-Esa-annya mempunyai nama lain sesuai dengan kekuasaannya, yaitu :
a. Sang Hyang Wenang artinya Dia satu-satunya yang memiliki wewenang untuk dipertuhan,  Laa ilaaha illa Allah ( dalam Islam disebut Tauhid Uluhiyah ). Dia satu-satunya yang memiliki hak ‘disembah’ dan ‘dimintai’ oleh sekalian manusia. Dia satu-satunya tempat bersandar segala urusan.

b. Sang Hyang Wening artinya Dia itu Maha Suci, (al-Quddus) bening dan suci selamanya, tidak terpengaruh oleh apa pun dan siapa pun karena memang tidak ada yang mampu mempengaruhi. Dia melakukan segala sesuatu  bersih dari campur tangan malaikat, jin atau manusia, semuanya menunjukkan kemandirian (qiya-muhu binafsihi, kesucian Dzat, kesucian sifat dan af’al (perbuatan) Allah.

c. Sang Hyang Widi atau Sang Hyang Wasesa atau Sang Hyang Widiwase atau Sang Hyang Jagat Nata, artinya Dia Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu (wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir ). Kekuasaan-Nya tak terbatas. Apa pun yang Dia kehendaki tak satu pun yang dapat mencegah.

d. Sang Hyang Murbeng Dumadi (al-Khooliq) Dia Yang  mencipta, membuat, mengatur, mengubah atau merusak apa saja yang tergelar di jagat, baik yang bersifat lahiriyan atau batiniyah. Dalam Islam disebut Tauhid Rububiyah.