Tampilkan di aplikasi

Buku Khazanah Intelektual hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Melangkah ke Surga dengan Shalat Sunat

Sesuai Dengan Contoh Rasul

1 Pembaca
Rp 30.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 90.000 13%
Rp 26.000 /orang
Rp 78.000

5 Pembaca
Rp 150.000 20%
Rp 24.000 /orang
Rp 120.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Amal yang pertama kali akan ditanya saat di akhirat kelak adalah shalat. Jika baik shalatnya, akan baik pula seluruh amalannya sehingga kita dengan bebas melenggang masuk ke surga. Namun, jika shalat kita tidak baik, akan panjanglah urusan dan berkuranglah kesempatan kita untuk bisa merasakan kenikmatan abadi.

Banyak sekali hal yang bisa membuat shalat menjadi tidak khusyuk. Masalah pekerjaan, rumah tangga, dan masalah lainnya menjadi beban pikiran. Tak heran, saat melaksanakan shalat, kita lebih banyak melamun dan pikiran melayang tak karuan. Jadilah shalat yang dilaksanakan tak berbekas, hanya menjadi sebuah penggugur kewajiban sehingga tidak mengubah perilaku ke arah yang lebih baik.

Shalat tidak hanya datang sebagai perintah wajib, tetapi juga disertai dengan shalat-shalat lain yang bersifat ibadah sunah, yaitu ibadah yang mendampingi dan menjadi nilai plus bagi kita saat melaksanakannya. Hikmahnya, shalat-shalat sunat ini akan menjadi penguat atau penyempurna shalat wajib.

Dalam buku ini dibahas secara gamblang mengenai shalat-shalat sunat. Bahkan, pembahasan bukan hanya difokuskan pada shalat sunat yang telah dicontohkan Rasulullah Saw., tetapi dibahas pula shalat lain yang masuk ke dalam katagori tidak pernah dicontohkan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Aam Amiruddin, Dr. MSi
Editor: Dini Handayani

Penerbit: Khazanah Intelektual
ISBN: 9789793838229
Terbit: Juli 2009 , 152 Halaman










Ikhtisar

Amal yang pertama kali akan ditanya saat di akhirat kelak adalah shalat. Jika baik shalatnya, akan baik pula seluruh amalannya sehingga kita dengan bebas melenggang masuk ke surga. Namun, jika shalat kita tidak baik, akan panjanglah urusan dan berkuranglah kesempatan kita untuk bisa merasakan kenikmatan abadi.

Banyak sekali hal yang bisa membuat shalat menjadi tidak khusyuk. Masalah pekerjaan, rumah tangga, dan masalah lainnya menjadi beban pikiran. Tak heran, saat melaksanakan shalat, kita lebih banyak melamun dan pikiran melayang tak karuan. Jadilah shalat yang dilaksanakan tak berbekas, hanya menjadi sebuah penggugur kewajiban sehingga tidak mengubah perilaku ke arah yang lebih baik.

Shalat tidak hanya datang sebagai perintah wajib, tetapi juga disertai dengan shalat-shalat lain yang bersifat ibadah sunah, yaitu ibadah yang mendampingi dan menjadi nilai plus bagi kita saat melaksanakannya. Hikmahnya, shalat-shalat sunat ini akan menjadi penguat atau penyempurna shalat wajib.

Dalam buku ini dibahas secara gamblang mengenai shalat-shalat sunat. Bahkan, pembahasan bukan hanya difokuskan pada shalat sunat yang telah dicontohkan Rasulullah Saw., tetapi dibahas pula shalat lain yang masuk ke dalam katagori tidak pernah dicontohkan.

Ulasan Editorial

Cara Kang Aam bertutur sangat komunikatif, terbuka, dan kadang diselingi humor. Dalam buku ini, penyampaian dilakukan secara sederhana, enak dibaca, ringan, dan lugas yang mencerminkan kedalaman ilmu dan pengalaman penulisnya. Mampu menyederhanakan konteks yang beragam dalam bahasa tutur yang sederhana tanpa kehilangan kualitas serta ragam isinya. Buku ini berisi seluk beluk tuntunan shalat sunat dan memuat intisari diskusi atau tanya jawab dengan jamaah di Majelis Percikan Iman maupun di majelis taklim lainnya sehingga patut dijadikan referensi dan dibaca dalam semua kondisi

GM. ARCOM III Bandung, Divisi Telkom Flexi Arcom III Bandung, PT TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk. / Muhammad Muaf

Pendahuluan / Prolog

Hal-Hal Mendasar dalam Shalat Sunat
DERAJAT keimanan seorang manusia tidak pernah stabil. Ia kadang berada di atas, tetapi tak jarang pula terjerembab pada posisi yang paling bawah. Hal ini menyebabkan ibadah-ibadah yang dilaksanakan sering menjadi tidak sempurna alias banyak kekurangan. Itulah sebabnya Rasulullah Saw. menganjurkan kita untuk melaksanakan ibadah tambahan sebagai penguat dan penyempurna ibadah wajib yang dilaksanakan.

Ibadah penguat atau penyempurna tersebut disebut ibadah sunah. Terminologi sunah dalam istilah fikih memiliki banyak sinonim, yaitu mustahab, mandub, nafilah, dan tathawwu. Namun, seperti halnya fardhu dan wajib, perbedaan itu tidaklah prinsip karena jika ditinjau dari makna kebahasaan, sunah berarti jejak, jalan, atau kebiasaan. Mustahab berarti sesuatu yang disenangi, mandub berarti sesuatu yang dianjurkan, nafilah berarti lebihnya dari sesuatu, dan tathawwu bermakna bertambah atau tambahan. Jadi, dapat diartikan bahwa istilah sunah merupakan jejak atau kebiasaan dalam agama yang disenangi Allah dan sebagai tambahan dari kewajiban.

Namun, ada pula sebagian ulama yang membedakan istilah tersebut berdasarkan intensitas Rasulullah Saw. dalam melaksanakannya. Jika suatu perbuatan selalu dilakukan dan ditekuni oleh Nabi maka disebut sunah. Jika perbuatan itu hanya dilakukan sekali-dua kali, tidak terus menerus, dinamakan mustahab.

Dalam ushul fiqh, mandub atau sunah didefinisikan sebagai perintah Allah yang mengandung tuntutan untuk berbuat, tetapi tidak secara tegas. Firman Allah Swt., “Hai, orang-orang beriman! Apabila kamu melakukan utang pi-utang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282)

Ayat tersebut memerintahkan untuk membukukan (mencatat) transaksi yang dilakukan tidak secara tunai. Namun, perintah ini tidak tegas. Sebab, ayat sesudahnya menyatakan jika kedua belah pihak yang melakuakan transaksi sudah saling percaya, tidak perlu lagi dibukukan. Jadi, redaksi (hendaklah kamu menuliskannya) yang menggunakan bentuk ‘amr (perintah) dalam ayat tersebut tidak tegas karena masih ada peluang yang memperkenankan untuk tidak mencatat ketika ada trust (kepercayaan) dari kedua belah pihak. Jadi, hukum membukukan transaksi adalah mandub atau sunah. Dalam fikih, mandub sering didefinisikan sebagai sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau tidak berdosa.

Para ulama membagi sunah dalam tiga macam, yaitu sunah muakad, sunah nafilah, dan sunah fadhilah. Sunah muakad yaitu sunah-sunah yang menjadi penyempurna bagi hal-hal yang wajib, misalnya azan dan shalat sunat rawatib (shalat sebelum dan sesudah shalat fardhu). Termasuk kategori ini adalah sunah yang selalu dilakukan Nabi, yaitu bersiwak. Sunah nafilah adalah sunah yang tidak menjadi rutinitas Nabi, misalnya shaum Senin-Kamis. Sedangkan sunah fadlilah adalah meneladani sifat-sifat Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia, misalnya cara makan, minum, berpakaian, dan sebagainya. (Abd. Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 111 – 112)

Ada juga sebagian ulama yang membagi sunah dalam dua macam saja, yaitu muakad dan ghair muakad. Muakkad artinya sunah yang menjadi rutinitas Nabi, tidak pernah ditinggalkan, kecuali satu-dua kali sebagai isyarat bahwa hal itu bukan merupakan kewajiban. Ghair muakad artinya sunah yang tidak menjadi rutinitas Nabi.

Shalat sunat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah sebagaimana halnya shalat wajib. Kita ketahui bahwa shalat merupakan kunci ditolak dan diterimanya amal ibadah seseorang. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung dan bebas dari siksaan Allah Swt. Jika rusak shalatnya, sungguh rugilah dan sia-sialah amalnya…” (H.R. Tirmidzi)

Satu hal yang mesti diperhatikan bahwa meskipun shalat sunat secara hukum tidaklah bermasalah ketika ditinggalkan, atau tidak menyebabkan datangnya siksa ketika diabaikan, tetapi seyogianya yang mesti menjadi perhatian adalah bahwa shalat sunat merupakan amalan yang melengkapi dan menyempurnakan shalat wajib dari kekuarangannya.

Jika diibaratkan, shalat sunat merupakan laba dari modal utama (shalat wajib), atau finishing dari desain yang menjadikan sebuah bangunan terlihat indah. Bukankah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang berbisnis ternyata hanya dapat mengembalikan modalnya saja tanpa disertai laba? Dan bukankah belum dapat dikatakan sebuah rumah jika finishing belum dilakukan sehingga menyebabkan orang enggan tinggal di rumah itu?

Shalat sunat terbagi menjadi dua, yaitu shalat sunat mutlak dan shalat sunat muqayyad. Shalat sunat mutlak dilakukan hanya dengan niat shalat sunat tanpa dikaitkan dengan yang lain. Adapun shalat sunat muqayyad yaitu shalat yang disyariatkan karena ada kaitannya dengan yang lain, misalnya rawatib, shalat Dhuha, shalat ‘Idain, shalat Gerhana, dan shalat Istikharah.

Penulis

Aam Amiruddin, Dr. MSi - Aam Amiruddin adalah intelektual muda yang senantiasa mengedepankan pendekatan dialog cerdas dalam menyampaikan gagasannya. Karenanya, banyak kalangan menaruh simpati dan mengaminkan opini-opininya. Dia tergolong produktif dalam melahirkan karya-karya intelektual dalam bentuk buku. Tentu saja, kekayaan intelektual tersebut hasil tempaan dunia akademik yang tidak bosan dikenyamnya.

Dia menamatkan studi di Ma’had Ta’lim Lughah al ‘Arabiyyah (sekolah milik Kedutaan Saudi Arabia), mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Saudi Arabia untuk menekuni Islamic Studies di International Islamic Educational Institute, menamatkan program Magister Sains di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, serta menamatkan program Doktor Ilmu Komunikasi di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Masyarakat luas mengenal suami dari Hj. Sasa Esa Agustiana, S.H. dan ayah dari Iqbal Rasyid Ridho, Tsania Shofia Afifa, dan Tsalitsa Syifa Afia ini sebagai narasumber di beberapa acara religi di Radio OZ 103,1 FM dan beberapa stasiun televisi swasta, seperti TVOne, RCTI, SCTV, TransTV, dll.

Daftar Isi

Pengantar Penulis
Hal-Hal Mendasardalam Shalat Sunat
     A. Keutamaan Shalat
Sunat
     B. Shalat
Sunat Di Rumah
     C. Shalat Sunat Saat Dikumandangkan
Iqamah
     D. Shalat Sambil Duduk Dan Pembeda
Shalat
     E. Waktu Terlarang Mengerjakan Shalat
     F. Tempat Terlarang Mengerjakan Shalat
Shalat Sunat
Munfarid
     A. Shalat
Rawatib
     B. Shalat
Syukrul Wudhu
     C. Shalat
Tahiyatul Masjid
     D. Shalat
Dhuha
     E. Shalat
Tahajud
     F. Shalat
Istikharah
     G. Shalat
Witir
Shalat Sunat Berjamaah
     A. Shalat
Tarawih
     B. Shalat
Idul Fitri Dan Idul Adha
     C. Shalat Kusuf Dan Khusuf (Gerhana Matahari & Bulan
)
     D. Shalat
Istisqa
Shalat Sunat yang TidakDicontohkan (Bid‘ah)
     A. Shalat Yang Berhubungan Dengan Hari Tertentu
     B. Shalat Yang Berhubungan Dengan Bulan Tertentu
     C. Berhubungan Dengan Kejadian Atau Hal Tertentu
Tentang
Penulis
Daftar Pustaka

Kutipan

SHALAT RAWATIB
Shalat rawatib adalah shalat sunat yang memiliki waktu yang terikat, yaitu dilaksanakan sebelum atau sesudah shalat fardhu. Hukum shalat ini adalah sunah muakad (sunah yang sangat dianjurkan).

SHALAT SYUKRUL WUDHU
Setelah berwudhu, kita disunahkan melaksanakan shalat dua rakaat. Shalat ini biasa disebut sebagai shalat Syukrul Wudhu. Hukum shalat ini adalah sunah muakad.

Shalat ini bisa dilakukan kapan saja, baik saat akan melaksanakan shalat wajib, maupun saat akan melaksanakan shalat sunat, misalnya dilaksanakan sebelumshalat Tahajud ataupun sebelum shalat Istikharah. Shalat ini juga bisa dilaksanakan secara mandiri, maksudnya tidak untuk mendahului shalat yang lainnya, alias tidak melaksanakan shalat lain setelahnya. Beberapa keterangan mengenai shalat Syukrul Wudhu.

SHALAT TAHIYATUL MASJID
Orang yang masuk masjid disunahkan melakukan shalat dua rakaat sebelum duduk, sebagai penghormatan (tahiyyat) pada masjid. Hukum shalat ini adalah sunah muakad. Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila seseorang di antaramu masuk masjid, hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaq ‘alaih)

Akan tetapi, sunah ini menjadi gugur jika seseorang masuk masjid ketika shalat berjamaah akan dimulai. Lagi pula, penghormatan terhadap masjid itu telah tercapai dengan melakukan shalat wajib tersebut.

Jika pada waktu lain shalat ini harus dilakukan sebelum duduk, khusus pada waktu shalat Jumat, shalat Tahiyatul Masjid tetap harus dilakukan walaupun kita telah duduk atau imam tengah berkhutbah.

SHALAT DHUHA
Hukum shalat ini sunah muakad. Shalat ini termasuk salah satu wasiat yang Rasulullah tinggalkan bagi para sahabat. Abu Hurairah berkata, “Kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara; shaum tiga hari setiap bulan, dua rakaat Dhuha, dan witir sebelum tidur” (H.R. Bukhari).

Keutamaan shalat ini bisa kita lihat dari keterangan berikut. Abu Dzar r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap persendian kita wajib mengeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah; setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah; setiap tahlil (Laa ilaaha illaallah) adalah sedekah; setiap takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah; mencegah dari yang mungkar juga sedekah. Dan semua itu bisa diganti dengan dua rakaat Dhuha.” (H.R. Muslim)

SHALAT TAHAJUD
Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang menjelaskan mengenai shalat Tahajud. Tak sedikit di antaranya menyebutkan mengenai pahala yang akan diperoleh seseorang jika dia rajin melaksanakan shalat Tahajud. Salah satunya, “Sesungguhnya, orang-orang bertakwa berada dalam taman-taman surga yang ada mata air. Mereka mendapatkan apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya, waktu di dunia, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit tidur pada waktu malam.” (Q.S. Aż-Żāriyāt [51]: 15–17).

Allah Swt. memuliakan orang yang suka melakukan shalat Tahajud, “Pada sebagian malam, lakukanlah salat Tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isrā’ [17]: 79).

SHALAT ISTIKHARAH
Kata istikharah dalam bahasa Arab berarti minta dipilihkan. Seseorang yang meminta tolong kepada temannya untuk memilihkan buku bacaan yang terbaik dari buku bacaan yang ada, dinamakan perbuatan Istikharah. Demikian juga halnya dalam beragama. Apabila manusia tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapkan dengan akal dan pikiran, dia mengadukan masalah tersebut kepada Allah Swt. agar dibantu memilihkan keputusan terbaik. Caranya adalah dengan melakukan shalat dua rakaat. Shalat tersebut dinamakan shalat Istikharah.

Ada pendapat keliru mengenai shalat Istikharah, yaitu sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, dia akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah dan hatinya menjadi tenang dengan pilihannya, tujuan Istikharah telah terpenuhi. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga mimpi itu datang.

SHALAT WITIR
Hukum shalat witir adalah sunah muakad. Shalat ini bisa dilaksanakan secara sendiri, maupun dilaksanakan dalam shalat Tahajud. Shalat witir sangat dianjurkan Rasulullah Saw. sebagaimana terdapat dalam beberapa keterangan berikut ini.

Kharijah bin Khudzafah al-Adawi r.a. berkata, “Nabi Muhammad Saw. pernah keluar menemui kami dan bersabda, ‘Allah ta’ala telah membekali kalian dengan satu shalat. Ia lebih baik bagi kalian daripada unta merah (unta yang paling mahal dan paling bagus), yaitu shalat Witir. Dia menjadikannya untuk kalian antara shalat Isya sampai terbit fajar.” (H.R. Abu Daud)

SHALAT TARAWIH
Shalat Tarawih adalah shalat sunat yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhan. Hukum shalat ini adalah sunah muakad. Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama dari kata tarwihat yang berarti duduk atau santai. Alasan penamaan ini karena biasanya orang-orang beristirahat, yakni duduk-duduk, di antara setiap dua salam. Waktu pelaksanaan shalat sunat ini adalah selepas Isya, biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid.

Dalam hidupnya, Rasulullah Saw. hanya pernah melakukan shalat Tarawih berjamaah pada tiga

SHALAT IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
Dalam Islam, kita mengenal beberapa hari besar. Dalam satu minggu, kita akan bertemu dengan hari Jumat, sebuah hari besar dalam taraf mingguan. Untuk level tahunan, kita pun mengenal Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari besar level tahunan bagi komunitas muslim sedunia. Mengenai Ied yang pertama (Idul Fitri), lumrahnya kita memiliki perhatian yang lebih dalam menyambut kedatangannya dan dirasakan lebih semarak setiap kali memperingatinya. Idul Fitri yang dirayakan pada setiap 1 Syawal, eksistensinya terasa lebih sakral jika dibandingkan dengan Idul Adha yang terjadi pada 10 Dzulhijjah. Sebab, jatuhnya Idul Fitri tepat setelah satu bulan penuh kita melaksanakan ibadah puasa. Sehingga, dengan tibanya 1 Syawal, kita seakan-akan merasakan sebuah kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu.

Bagi muslim yang sukses menundukkan hawa nafsu selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati. Hari itu Allah Swt. akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh semua orang, termasuk para nabi dan orang-orang saleh, yaitu ridha dan magfirah-Nya. Sabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ampunan Allah, maka Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosanya di masa yang lalu” (H.R. Bukhari).

SHALAT KUSUF DAN KHUSUF (GERHANA MATAHARI & BULAN)
Secara bahasa, kusuf berarti perubahan warna menjadi hitam, sedangkan khusuf berarti kurang atau pudar. Gerhana bulan atau matahari berarti perubahan bulan atau matahari atau pudarnya cahaya dari dua benda tersebut.

Secara istilah, kata kusuf dan khusuf diartikan terhalangnya cahaya matahari atau bulan, meskipun hanya sebagian. Gerhana timbul karena kuasa Allah Swt. bukan karena kejadian ataupun peristiwa tertentu.

Pada zaman Rasulullah, gerhana hanya terjadi satu kali. Datangnya bertepatan dengan hari kematian putra beliau, Ibrahim, pada Senin 29 Syawal 10 Hijrah atau bertepatan dengan 27 Januari 623 Masehi pada pukul 08.30. Penduduk saat itu menghubungkan gerhana dengan kejadian tersebut. Menanggapi hal ini, beliau bersabda, “Gerhana matahari dan bulan itu merupakan dua tanda kebesaran Allah. Keduanya terjadi bukan karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian medapati gerhana matahari dan bulan, bersegeralah melaksanakan shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

SHALAT ISTISQA
Shalat Istisqa’ adalah shalat sunat yang dilakukan untuk meminta diturunkannya hujan. Shalat ini dilakukan jika terjadi kemarau panjang yang menyebabkan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan kekurangan air.