Ikhtisar
Seperti kata Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama RI, salah satu tugas umat Islam adalah membangun komunitas global yang lebih beradab dan berkeadilan, tempat orang-orang dari semua keyakinan dan agama dapat hidup bersama secara harmonis dan saling menghormati... Sebagai kelompok mayoritas, umat Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan kontribusi pemikiran yang positif untuk kemajuan Indonesia ke depan. Salah satu kunci untuk mewujudkan ide tersebut, antara lain, adalah perlunya penghargaan tinggi terhadap spirit perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap keragaman. Untuk itu, melalui buku ini, penulis melihat dinamika Islam dalam perspektif lain sebagai terobosan bagi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan tanpa mengabaikan persoalan lain yang dihadapi umat Islam saat ini, seperti isu aliran sesat, problem kerukunan umat beragama, intoleransi, anarkisme, dan problematika sosial lainnya sebagai tantangan yang harus segera dicari solusinya. Buku ini berisi gagasan pemikiran penulis atas problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Meskipun, seperti diakuinya, informasi yang disampaikan tidak bersifat final.
Pendahuluan / Prolog
Pengantar Penulis
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw beserta sahabat dan keluarganya.
Merespon dinamika Islam yang muncul di era reformasi dewasa ini tanpa disadari ikut mewarnai perbincangan publik nasional sekaligus menjadi topik hangat, di antaranya masalah Islam garis keras, seperti Al-Qa’idah, ISIS, dan aliran-aliran sesat lainnya, termasuk yang pada beberapa waktu yang lalu dialamatkan kepada kelompok Islam Ahmadiyah yang dianggap sangat meresahkan umat Islam Indonesia.
Namun, dalam pembahasan tentang pemikiran aliran sesat yang dialamatkan kepada kelompok Islam Ahmadiyah di Indonesia melalui tulisan ini tidak menyentuh pada persoalan pokok atau substansi keyakinan dan sepak terjangnya sebagaimana yang diperdebatkan selama ini. Yang disoroti adalah kehadirannya sebagai kelompok Islam yang dalam aspek keyakinan dan pemahaman keagamaannya dianggap dapat memicu kontroversi pemikiran di kalangan masyarakat Indonesia.
Sebagai kelompok mayoritas di negeri ini, Islam memiliki peran yang sangat penting terutama kaitannya dengan kondisi politik bangsa yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan oleh media. Mengutip pernyataan mantan Menteri Agama RI Suryadharma Ali, bahwa salah satu tugas umat Islam adalah membangun komunitas global yang lebih beradab dan berkeadilan, tempat orang-orang dari semua keyakinan dan agama dapat hidup bersama secara harmonis dan saling menghormati.
Karena itu, membangun pola keberagamaan yang saling menyapa menjadi spirit utama Rasulullah Saw ketika menyiarkan Islam di Jazirah Arab. Sebagai kelompok mayoritas, umat Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan kontribusi pemikiran yang positif untuk kemajuan Indonesia ke depan. Meskipun demikian, umat Islam Indonesia tidak boleh kehilangan pengaruhnya terhadap kebijakan kepentingan negara-negara Barat.
Penulis, melalui buku ini, mencoba melihat dinamika Islam dalam perspektif yang lain sebagai suatu terobosan untuk menggapai sebuah harapan baru guna terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan secara universal yang patut dibanggakan tanpa mengabaikan berbagai persoalan lain yang dihadapi umat Islam saat ini, seperti isu aliran sesat, problem kerukunan umat beragama, intoleransi, anarkisme, dan problematika sosial dalam masalah usia perkawinan, sebagai tantangan yang harus dijawab dan segera dicari solusi penyelesaiannya.
Permasalahan coba diketengahkan penulis dalam buku ini terbagi atas lima bagian, yaitu bagian pertama menyoroti eksistensi Ahmadiyah beserta permasalahannya, bagian kedua membahas tentang wajah Islam Indonesia yang plural dan egaliter, bagian ketiga membahas tentang relevansi Islam di tengah arus peradaban, bagian keempat membahas tentang Islam di tengah kerukunan ummat beragama dalam perspektif negara yang majemuk seperti Indonesia, dan bagian kelima membahas interpretasi batas usia perkawinan yang sampai saat ini sering terjadi di masyarakat akar rumput, walaupun fakta di lapangan selalu membuktikan kepada kita semua bahwa seringkali kasus perkawinan di bawah umur itu dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan di ruang publik.
Editor
M. Ghufran H. Kordi K. - M. GHUFRAN H. KORDI K., lahir 26 Januari 1973 di Desa Tabapoma, Bacan Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara, adalah aktivis ornop/LSM, peneliti, penulis, fasilitator pelatihan, dan konsultan budi daya perairan/perikanan. Pernah aktif di Lembaga Mitra Lingkungan (LML) Sulawesi Selatan (1997—1999), Wahana Wisata Lingkungan (WWL) Makassar (1998—1999), dan Yayasan Pabatta Ummi (YAPTA-U) Sulawesi Selatan (1997—2001). Saat ini aktif di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, Institut Studi dan Pengembangan Masyarakat (ISPM) Sulawesi Selatan, Yayasan Esensi Sulawesi Selatan, dan Green Area Maluku Utara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh, antara lain, SD Negeri Tabapoma; Madrasah Ibtidaiyyah Alkhairaat, Tabapoma; Madrasah Tsanawiyah Alkhairaat, Kalumpang Ternate; Madrasah Aliyah Alkhairaat, Kalumpang Ternate, Maluku Utara; dan Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Belajar menulis sejak di bangku Madrasah Aliyah Alkhairaat Kalumpang, Ternate. Hingga kini terus menulis dan telah menghasilkan banyak artikel, esai, makalah, laporan penelitian, dan buku.
Daftar Isi
Sampul
Pengantar penulis
Daftar isi
Bagian pertama: Ahmadiyah dalam Sorotan
Keberadaan yang Penuh Kontroversi
Jalan yang Hendak Dituju
Hadir di Tengah Kemajemukan
Kenapa Harus Dipermasalahkan
Aliran yang Membingungkan
Penutup
Bagian dua: Wajah Islam Indonesia
Islam Agama Egaliter
Isu Penerapan Syariat Islam
Yang Seringkali Disudutkan
Hanya Perbedaan Cara Pandang
Pengakuan Adanya Pluralisme
Identitas yang Samar-samar
Penutup
Bagian tiga: Relevansi Islam di Tengah Arus Peradaban
Pendahuluan
Islam Itu Nilai
Kontribusi Islam terhadap Pembangunan
Islam yang Seringkali Disalahpahami
Pandangan Islam terhadap Kemajemukan
Penutup
Bagian empat: Islam di Tengah Kerukunan Umat Beragama
Dinamika Kerukunan Umat Beragama
Menuju Wajah Agama yang Humanis
Agama dalam Realitas Politik
Upaya Mencari Titik Temu
Perlu Ada Langkah Dialog
Penutup
Bagian lima: Interpretasi Batas Usia Perkawinan
Tinjauan Historis
Perdebatan Batas Usia Perkawinan
Sudut Pandang Usia Perkawinan
Keterlibatan Orangtua
Peran Lembaga Pendidikan
Problematika Perkawinan di Bawah Umur
Butuh Pemikiran Konstruktif
Penutup
Indeks
Daftar pustaka
Tentang penulis
Kutipan
Islam Agama Egaliter
Ketika memulai tulisan ini dengan sejumlah referensi yang ingin penulis dapatkan, tanpa disengaja penulis merasa kagum dengan John L. Esposito, seorang guru besar Agama dan Hubungan Internasional pada Georgetown University Amerika Serikat yang non-Muslim, dalam suatu buku yang sangat monumental berjudul Islam The Straight Path; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Tuhan terbit tahun 2010. Dalam buku tersebut, Esposito memperkenalkan Islam kepada kita umat Islam Indonesia dengan cara yang mungkin cara itu tidak pernah diajarkan oleh guru Muslim kita di sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Menurut Arif Maftuhin, penerjamah buku tersebut, Esposito menyampaikan Islam sekaligus sebagai orang “luar” dan orang “dalam”. Di satu sisi, sebagai orang luar (nonMuslim), ia bisa tanpa beban menilai dan membandingkan agama Islam dengan agama lain. Sementara di sisi lain, Esposito mampu menjadi orang dalam karena ia melukiskan Islam dari tempat yang sangat menghargai keyakinan pemeluknya sendiri. Ia menceritakan Islam dengan jujur dan berdasarkan pengalamannya sendiri ketika tinggal di sejumlah negara Muslim. Mengenai Islam yang menurut Esposito sendiri telah bernafaskan sejarah panjang dan amaliah para pemeluknya, bukan semata-mata Islam yang dipelajari dan diajarkan lewat teks-teks agama sebagaimana yang kita terlanjur pahami selama ini.
Bertitik tolak dari pemikiran John L. Esposito ini, tulisan ini dicoba untuk di-“evakuasi” ke dalam suatu bentuk pemikiran baru dari sekian pemikiran yang ada tentang posisi Islam dalam beberapa dekade terakhir ini, khususnya yang terjadi di Indonesia. Dalam tataran praktisnya, pemeluk Islam di Indonesia sedikit berbeda dengan Islam yang dianut di negara-negara lain, sebagaimana yang dialami Esposito saat berada di negara-negara Muslim lainnya. Berbicara tentang Islam di Indonesia dalam berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini, ia mengingatkan kita akan pentingnya memahami kebutuhan riil umat Islam itu sendiri. Kebutuhan riil itu di antaranya adalah masalah pendidikan, kesehatan, HAM, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan yang sampai saat ini belum dijawab secara tuntas. Fakta ini setidaknya diakui sebagai sebuah gambaran positif guna memahami secara lebih dekat tentang sejauhmana persoalan (keagamaan Islam) tersebut sehingga harus dievaluasi atau paling tidak perlu di-review guna mencari solusi penyelesaian dan sekaligus dapat mengantar kita ke tataran bagaimana seharusnya persoalan itu dijawab. Upaya ini perlu dilakukan agar kita dapat mengklaim Islam sebagai agama yang dapat membebaskan umat manusia dari praktikpraktik yang bertentangan dengan prinsip nilai-nilai kemanusiaan.
Islam (dalam ajaran dan pemikirannya) itu elastis karena mampu menyesuaikan dengan kondisi zaman dan waktu. Hal ini disebabkan warna Islam sangat bergantung pada si penafsir itu sendiri. Islam juga diakuinya sebagai salah satu agama samawi yang dapat membebaskan manusia dari himpitan struktural dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, meskipun diakui bahwa pembebasan ini bersifat lambat dan membutuhkan jangkauan waktu yang sangat jauh. Dalam hal ini pula, Islam seringkali diperhadapkan dengan berbagai dinamika yang bermunculan sesuai dengan realitas permasalahan sosial yang dihadapi pemeluknya. Jadi, wajar kalau kemudian diakui bahwa Islam adalah salah satu agama samawi yang universal. Misalnya, isu Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan oleh Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di akhir 1980-an, lalu gaungnya masih terasa sampai saat ini. Dengan isu Pribumisasi Islam, seolah-olah kita dituntut bagaimana menemukan wajah Islam Indonesia yang syarat dengan nilai-nilai tradisi lokal. Dalam Pribumisasi Islam terlihat dengan jelas bagaimana terjadinya akumulasi antara Islam sebagai agama dan ajaran normatif yang berasal dari Tuhan dan kebudayaan yang berasal dari manusia yang dalam praktiknya nanti diharapkan kedua-duanya tidak kehilangan identitasnya masing-masing. Untuk memahami lebih jelas tentang relasi Islam dan budaya lokal, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya, bisa lihat buku “Mengislam Jawa” karya M.C Ricklefs.
Terkait dengan isu Pribumisasi Islam, pada 8-9 Maret 1989, sekitar 200 orang kiai berkumpul di Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk mengadili Gus Dur. Menurut Gus Dur, ia bukanlah orang pertama yang memulai. Ia adalah generasi pelanjut dari langkah strategi yang pernah dilakukan oleh Walisongo.
Lebih lanjut, menurut Gus Dur, dengan langkah pribumisasi, Walisongo berhasil mengislamkan tanah Jawa tanpa harus berhadapan dan mengalami ketegangan dengan budaya setempat.1 Di sinilah letak keunikan yang dimiliki umat Islam di Indonesia yang masih kental dengan tradisi lokal. Isu Pribumasi Islam memunculkan gambaran seolah-olah terjadi benturan perkembangan dalam penyebaran Islam yang berhadapan dengan tradisi Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Dalam hal ini, pandangan universalisme Islam cenderung diusung dalam kerangka formalnya sesuai dengan tradisi tersebut untuk diakumulasi dengan pola keberagamaan Islam di Indonesia yang berhadapan dengan realitas tradisi lokal. Pandangan ini mengantarkan kita kepada suatu pemikiran baru tentang metode mengusung paradigma beragama yang inklusif dan egaliter. Ilmu sosiologi pengetahuan menguatkan sebuah kenyataan ilmiah bahwa ide, pendapat, dogma, keyakinan, dan nilai-nilai hanya merupakan produk realitas materi. Maksud realitas di sini adalah struktur sosial ekonomi masyarakat.2