Tampilkan di aplikasi

Buku MNC Publishing hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Puisiku

1 Pembaca
Rp 49.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 147.000 13%
Rp 42.467 /orang
Rp 127.400

5 Pembaca
Rp 245.000 20%
Rp 39.200 /orang
Rp 196.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Tema biru yang dilukiskan dalam “Puisiku” sangat mewakili semesta rasa-peristiwa karena biru adalah warna alam. Jika berkunjung ke negara-negara Asia Tengah seperti Mongolia, Kazakhstan, maupun Uzbekistan, terlihat langit biru terhampar, luas tanpa batas. Di negara-negara kepulauan seperti Indonesia atau Jepang, laut dan samudera biru terbentang jauh, lagi-lagi tanpa sekat pemisah. Batas negara tidak akan jelas pada luasnya biru langit dan laut. Biru yang tanpa batas pada hakikatnya menggambarkan emosi manusia yang ada kalanya meluap dan tidak dapat dibendung.

Sekalipun beberapa puisi disajikan dengan bahasa kocak, ”Puisiku” adalah refleksi penulis yang sangat mungkin menjadi bagian self healing. Setidaknya yang saya tahu, penulis melibatkan perasaan yang sangat dalam, dengan meminjam istilah-istilah awam sebagai bahasa kiasnya. Dihimpun selama sepuluh tahun dari berbagai peristiwa yang dialaminya, penulis berusaha merenungkan dan menuangkannya dalam kumpulan puisi ini. Namun, hanya pembacanyalah yang akan menginterpretasi dan memberi makna pada rangkaian kata-kata yang disajikannya. Jika kita kadang menghakimi segala sesuatu dari penampakan lahiriah, maka terjun ke dalam dimensi rasa pada puisi sering bisa menyegarkan dan membuka mata terhadap sudut pandang yang baru. Mari kita coba membaca “Puisiku” dan memahami birunya penulis!

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Sri Herminingrum

Penerbit: MNC Publishing
ISBN: 9786024623975
Terbit: Desember 2021 , 120 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Tema biru yang dilukiskan dalam “Puisiku” sangat mewakili semesta rasa-peristiwa karena biru adalah warna alam. Jika berkunjung ke negara-negara Asia Tengah seperti Mongolia, Kazakhstan, maupun Uzbekistan, terlihat langit biru terhampar, luas tanpa batas. Di negara-negara kepulauan seperti Indonesia atau Jepang, laut dan samudera biru terbentang jauh, lagi-lagi tanpa sekat pemisah. Batas negara tidak akan jelas pada luasnya biru langit dan laut. Biru yang tanpa batas pada hakikatnya menggambarkan emosi manusia yang ada kalanya meluap dan tidak dapat dibendung.

Sekalipun beberapa puisi disajikan dengan bahasa kocak, ”Puisiku” adalah refleksi penulis yang sangat mungkin menjadi bagian self healing. Setidaknya yang saya tahu, penulis melibatkan perasaan yang sangat dalam, dengan meminjam istilah-istilah awam sebagai bahasa kiasnya. Dihimpun selama sepuluh tahun dari berbagai peristiwa yang dialaminya, penulis berusaha merenungkan dan menuangkannya dalam kumpulan puisi ini. Namun, hanya pembacanyalah yang akan menginterpretasi dan memberi makna pada rangkaian kata-kata yang disajikannya. Jika kita kadang menghakimi segala sesuatu dari penampakan lahiriah, maka terjun ke dalam dimensi rasa pada puisi sering bisa menyegarkan dan membuka mata terhadap sudut pandang yang baru. Mari kita coba membaca “Puisiku” dan memahami birunya penulis!

Pendahuluan / Prolog

Prologue
Kumpulan puisi ngawur ini merupakan ekspresi dari semua pikiran, perasaan, dan pandangan saya terhadap berbagai peristiwa yang saya alami dan saksikan selama sepuluh tahun saya “kembali” di Fakultas Ilmu Budaya.

Seperti diteorikan Candra Malik bahwa ‘setiap penulis sesungguhnya menulis tentang dirinya sendiri; jika menulis tentang seseorang, penulis akan menuliskan pengindraan, pikiran, dan perasaannya tentang seseorang itu’. Dan, dari ketiganyalah saya berupaya menghimpun apa yang mampu saya tangkap; sebuah rekaman sederhana.

Biru, yang menjadi tema “Puisiku”, menyimpan banyak makna. Ada perasaan mengharu-biru ketika saya melihat perlakuan terhadap ‘yang lain’ atau ‘yang berbeda’ dan ingin mendendangkan ‘Love is Blue’. Sebuah kerinduan untuk saling mencintai dan mengasihi; di antara segala agenda saling menyalahkan yang telah menutup mata hati.

Ada jejak lembam membiru, seperti bekas dipukul godam; apapun itu cara si pemakai untuk mencederai lawannya yang cukup membuat hati saya berduka. Itu mengapa, puisi-puisi yang saya tulis ini merupakan pengejawantahan berbagai gejolak emosi yang saya alami. Mereka bukan sekadar rangkaian kata-kata tetapi juga pengingat bahwa jiwa batin manusia tidak bisa ingkar.

Penulis

Sri Herminingrum - Penulis, Sri Herminingrum adalah dosen Senior di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang. Mengabdi sebagai dosen sejak tahun 1983 setelah memperoleh gelar sarjana (Sastra Inggris) dari Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro Semarang. Yang bersangkutan menyelesaikan program magister dan doktornya di bidang Kajian Amerika; masingmasing di Fakultas Ilmu-Ilmu Humaniora dan Sekolah Pascasarjana, Ilmu-Ilmu Antar Bidang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Latar belakang ilmu yang dimiliki penulis berkontribusi banyak terhadap proses kristalisasi semangat keindonesiaannya. Kredo E Pluribus Unum Amerika menggugah kesadarannya untuk semakin mencintai kemajemukan Indonesia – Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini juga yang kemudian meneguhkan pilihan penulis untuk aktif meneliti budaya-budaya lokal di desa-desa dan area urban, termasuk bagaimana para pelaku tradisi-tradisi berbasis kearifan lokal bertahan dari gempuran modernisasi baik secara sosial, politik, ekonomi, dan pengaruh agama. Sekalipun jangkauan penelitian yang dilakukan masih terbatas di beberapa daerah Jawa Timur seperti di Malang, Ngawi, Mojokerto, Jombang, Tulungagung, Kediri, dan Ponorogo, namun merembesnya konsep global dan pesatnya arus kemajuan teknologi yang berimbas pada pergeseran bahkan perubahan budaya lokal juga menjadi perhatian penulis untuk terus menggali fenomena tersebut karena ia percaya bahwa transformasi budaya adalah pengayaan bagi budaya itu sendiri.

Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Kata Pengantar
Sekapur Sirih Untuk "Pusiku"
Prologue
Dua Ribu Sepuluh
Tempat Ini
Filosofi Sederhana
Maturnuwun Sanget Ibu
Sejenak Kulupakan
Pulang
Kuhindari Panas
Benar Juga,
Kudengar Lagu Kebencian Semakin Nyaring
Pelajaran yang Kutinggal
Aku Capai
Demonstrasi
Amuk
Apalagi yang Harus Aku Pahami di Sini?
Timbul Tenggelam
Maturnuwun Sanget Bapak,
Ternyata
Episode Dua
Bu,
Hanya Dalam Hitungan Hari
Walau Sejenak,
Napak Tilas
Spoor van Amsterdam
Ayo Lari,
Bolak-balik Kuamati
Memang Agak Sombong,
Kuputuskan Menyeberang Batas Negara
Babat Alas
Ada Yang Berang,
Apa Ya …?
Penggalan Kutipan yang Ingin Aku Sampaikan
Demi Presentasi
Sekadar Mengulang Sebuah Cerita
Gembira Ria
Masih Ada yang Kutunggu
Tiga Kata
Lagi …
Tertipu Aku
Esoknya,
Setelah Berpuluh-puluh Keriuhan Berlalu
Hore …
Kemudian
Hei … Terimakasih
Memang,
Kata yang Berempati
Untuk Apa Dimasukkan Hati?
Baru Kali Ini,
Perempuan
Sang Waktu Terus Berjalan
Oh, Hampir Lupa Aku Dengan Orang yang Sama
Balada Pintu
Tertegun
Aku Terperangkap
Keresahan Melanda
Di Sini
Badai Kelihatannya Sedang Mereda
Menjelang
Tiga Warsa Belum Berbilang Bulan Lebihnya
Aku Pidato
Episode Baru
Hari Gini
Semua Tertata Rapi
Eh, Aku Ingin Memberitahu
Harus Segera Menangkap Kesempatan
Ini Rasa Ingin Tahuku:
Hampir Setiap Beranjak
Bumi Gonjang-ganjing Langit Kelap-kelap
Pensiun
Setelah Puisi Ke 48
Termenung Aku Sejenak,
Enam, Sebelas, Sembilan Belas
Ini Demi yang Lain
Terkaget-kaget Aku
Mahapatih
Habis Sudah
Sebentar, Aku Ingin Jeda
Baru Sempat Kutengok
Jelita,
Ternyata
Jangan!
Dalam Renungku
Epilogue