Ukuran ketakwaan bukan diukur dari lamanya ia menikmati hidup, tetapi ibadah dan amal shalihnya di hadapan Allah “Belumkah datang waktunya bagi orangorang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.
Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Al-Hadid [57]: 16) Dunia adalah pesona yang melenakan. Ungkapan ini mengingatkan kita agar senantiasa berhati-hati menyikapi dunia ini. Rayuannya bisa berujung kepada maut. Godaannya menjerumuskan seseorang menuju kepada kesengsaraan dunia akhirat. Tak heran, para sahabat utama sekelas Abdullah bin Mas’ud pun kena “sengatan” dari Allah Subhanahu Wata’ala melalui ayat di atas.
Para sahabat Nabi, tutur Ibnu Mas’ud, sampai tergoncang keheranan ketika ayat tersebut turun. Ia turun tepat empat tahun usai keislaman mereka di Makkah. Apa yang para sahabat lakukan selama ini? Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala hingga sedemikian keras mencela mereka? Sebuah pukulan dahsyat yang menohok kesadaran para sahabat.
Jika sekualitas iman para sahabat masih layak dapat “jeweran” dari Allah Subhanahu Wata’ala, lalu apa yang terjadi dengan level keimanan manusiamanusia akhir zaman seperti kita ini? Hendaknya ayat di atas menjadi peringatan dini buat diri orangorang beriman. Tanpa disadari, tak jarang seorang Muslim terjebak turut berlomba-lomba menikmati dunia ini. Seolah lupa dan abai dengan kampung abadi di hari akhirat kelak.
