Umum dipahami di kalangan kaum Muslimin bahwa seluruh aktivitas kebaikan yang diniatkan karena Allah akan bernilai ibadah, mulai dari membaca, mencari nafkah, hingga membahagiakan istri dan anak-anak, serta keluarga karib, bahkan sampai tidur sekalipun. Untuk itu, tidak heran jika banyak orang memiliki antusias lebih dalam aktivitas mencari nafkah, sebab terkategori ibadah. Namun apakah karena mencari nafkah, lantas ibadah yang utama menjadi kurang penting untuk diperhatikan?
Di dunia maya sempat muncul meme bertuliskan, “Berapa gaji dari pekerjaanmu, sampai-sampai berani meninggalkan shalat?” Meme itu mungkin terasa menohok, tapi dalam realitanya, memang masih banyak kepala keluarga, ibu rumah tangga, dan anakanak yang telah dewasa berani menelantarkan shalat.
Beragam alasannya, mulai dari kesibukan, pekerjaan yang menumpuk, deadline dan lain sebagainya. Padahal, shalat adalah tiang agama, dan shalat tidak mungkin membuat seseorang abai dengan tugas-tugas penting lainnya. Justru shalat itu adalah refreshing otak yang paling penting, untuk setiap jiwa siap menuntaskan tugastugas lainnya dengan baik, demikian ungkap Buya Hamka dalalm bukunya Lembaga Budi.
Lebih dari itu, mesti dipahami bahwa tanpa menunaikan ibadah wajib yang telah Allah tetapkan kepada kita, semua kebaikankebaikan yang kita lakukan, belumlah jaminan mengantarkan kita kepada ridha dan surga-Nya. Bagi seorang ibu rumah tangga misalnya, meskipun rajin ikut amal sosial, pengajian, dan beragam kegiatan baik lainnya, jika tidak shalat lima waktu, akan merugi juga akhirnya.
Rasulullah bersabda, “Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan” (HR. Ahmad). Di sini seorang kepala rumah tangga mesti hadir, memberikan keteladanan dalam soal ibadah, mulai dari shalat, puasa, dan kehormatan keluarga. Terutama, memastikan istri untuk bisa masuk surga dari pintu mana saja. Jadi, tidak cukup sebatas memberikan nafkah.