Jiwa Merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa ini adalah anugerah besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bersyukur. Tidak sebatas dengan acara dan ritualitas belaka, tetapi nyata dalam wujud kesadaran dan pergerakan jiwa yang benar-benar merdeka.
Terlebih dalam catatan Ahmad Mansur Suryanegara dalam karyanya Api Sejarah, umat Islam, dalam hal ini santri dan ulama, merupakan pioner pembangkit kesadaran mewujudkan kemerdekaan di negeri ini. Bahkan ulama dan santri itulah yang mengawali gerakan, yang belakangan dikenal dengan nasionalisme. Karena, nasionalisme adalah bentuk perlawanan terhadap imperialisme.
Dengan kata lain, kemerdekaan Indonesia adalah sebuah anugerah yang datang bukan dengan sendirinya, tetapi lebih karena kesungguhan seluruh elemen bangsa, terutama ulama dan santri dalam memerdekakan bangsa ini. Dan, tentu saja tempaan yang paling diperhatikan sebagai modal melawan penjajah, yang canggih dari sisi metode dan persenjataan, tiada lain adalah pemahaman dan pemantapan spiritual yang baik.
Dari sini, dapat ditarik satu “warisan” nilai yang harus dijaga kuat oleh bangsa ini adalah bagaimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hidup. Tidak saja dalam ruang-ruang formal, dialog dan seminar, tetapi dalam setiap hembusan nafas kita. Karena, menurut Buya Hamka dalam bukunya Dari Lembah Cita-cita, ketika penduduk negeri ini secara sadar menjalankan perintah Allah dan Rasul- Nya, maka saat itulah jiwa mereka benar-benar merdeka.
Merdeka dari kepayahan menjadi budak hawa nafsu, merdeka dari menjadi kuda tunggangan adat kebiasaan yang tak progresif dan cenderung destruktif, merdeka dari segala macam kekerdilan tujuan hidup. Dan, merdeka dari bisiskan-bisikan hati yang menjerumuskan diri dalam kehidupan.*/Imam Nawawi