Sekalipun manusia melihat fakta kematian, tak sedikit yang masih memandang dunia adalah tujuan. Padahal sudah jelas fakta-fakta di dalam kehidupan ini, semua akan bertemu dengan titik akhir.
Maka tidak heran jika ada ungkapan bahwa hidup tiada lain hanyalah sebuah perjalanan. Benarkah demikian? Bukankah manusia tidak ada, kemudian Allah ciptakan dan pertama kali hidup di alam kandungan.
Kemudian Allah lahirkan ke dunia, menjadi bayi dan tumbuh menjadi anak-anak, remaja hingga dewasa dan bertemu ajal (kematian). Kematian adalah pintu memasuki alam barzakh, hingga akhirnya nanti manusia akan dikumpulkan di alam makhsyar.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dari perjalanan, entah itu ke sekolah, kuliah, ke kantor, ke majelis taklim, ke luar kota, ke luar pulau, hingga ke luar negeri, semua itu adalah perjalanan.
Manusia berpindah dari satu titik ke titik lainnya kemudian pulang kembali ke titik semula. Dengan demikian, jelas terbukti bahwa hidup adalah perjalanan. Karena hidup adalah perjalanan, maka Allah berikan yang namanya waktu.
Dengan waktu inilah manusia dinilai apakah ia mampu mengisinya dengan keimanan, amal sholeh, saling mendorong dan menguatkan di dalam kebenaran serta kesabaran, atau seperti apa? Hikmah Fakta tersebut sangat penting dan berarti bagi insan beriman, terutama dalam hal bagaiman mengisi kehidupan dengan kebermanfaatan dunia-akhirat.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i mendorong umat Islam agar melangkah, meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu, mengisi waktu untuk menimba ilmu. Imam Syafi’i berpesan, “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing.”
