Memastikan energi kebaikan. Energi dalam kajian fisika dimaksukdan sebagai sesuatu yang tak dapat diciptakan sekaligus tak dapat dimusnahkan. Hal ini menunjukkan bahwa energi selalu ada, selama kiamat belum melanda dunia. Demikianlah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Kala manusia berjalan, berlari, bersepeda, berolahraga dan lain sebagainya, semua itu menunjukkan bahwa manusia bergerak. Dan, pergerakan itu, seluruhnya dapat dilakukan karena adanya energi.
Energi dalam konteks fisik berarti makanan. Dan, agar tubuh mendapatkan energi yang cukup, maka makaan pun harus diatur, dikelola, alias tidak boleh memakan semau diri. Dalam Islam, bukan semata sisi kebersihan, higienis, dan sterilisasi semata, tetapi juga perihal bagaimana diperoleh, apakah halal, atau kah haram. Jika halal, maka energinya akan melimpah mendorong diri dalam kebaikan- kebaikan. Sebaliknya, jika haram, maka semua itu justru akan menguras energi positif di dalam diri, sehingga kebaikan justru menjadi hal yang sangat dijauhi.
Dengan kata lain, mendapatkan harta dari sumber dan cara yang halal merupakan kebutuhan asasi setiap insan beriman. Karena mendapatkan rezeki dengan halal merupakan syarat pertama energi kebaikan di dalam diri terus aktif bergerak, sehingga kebaikan-kebaikan akan memberikan sinyal tiada henti, yang pada akhirnya selalu ada kerinduan, kecintaan, dan kesungguhan di dalam melakukan kebaikan-kebaikan.
Dengan demikian, tak ada tugas kepemimpinan dalam diri, keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa, dan negara, selain memastikan rezeki yang kita peroleh adalah halal. Sebab, hanya dengan yang halal itulah, energi kebaikan di negeri ini akan terus bergerak, berputar, beraktivitas memastikan kebaikan-kebaikan besar menyelimuti negeri ini. Insya Allah. Dan, sebagaimana janji Tuhan, tidak ada balasan dari kebaikan, melainkan kebaikan itu pula.
حِْسَانُ ْ ال َّ حِْسَانِ إل ْ هَلْ جَزَاءُ ال “Adakah balasan kebaikan selain kebaikan?” (QS. Ar-Rahaman [55]: 60).*/Imam Nawawi