Memuliakan tamu
Rasulullah senantiasa memuliakan tamu. Beliau bahkan selalu memberikan kebahagiaan kepada setiap tamu yang datang. Suatu waktu, Rasulullah menerima utusan dari Bani Abdul Qais. Beliau bersabda kepada para utusan, “Selamat datang para utusan, yang datang tanpa akan kecewa dan tidak akan menyesal.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitu pula kala Rasulullah menerima kunjungan dari keluarga. Beliau begitu ceria. Suatu kali, putri kandungnya, Fatimah, datang mengunjungi Beliau . Nabi bersabda, “Selamat datang wahai putriku.” (HR Bukhari dan Muslim). Demikianlah sosok Nabi menghormati tamu. Tentu saja, sebagai umatnya, kita pun harus meneladani, memuliakan tamu.
Orang yang tidak mau memuliakan tamu, akan terganggu kualitas keimanannya. “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari). Lantas, bagaimana kalau tamu yang akan datang ini adalah Ramadhan? Sungguh, umat Nabi Muhammad tidak pernah kekurangan teladan, termasuk kala “tamu” yang akan datang adalah Ramadhan.
Mu`alla bin al-Fadhl dalam kitab yang berjudul, Nidâu al-Rayyân fî Fiqhi al-Shaum wa fadhli Ramadhân’, karya: Abu Bakar Jabir al-Jazāiri (1/164); demikian juga dalam, ‘Istiqbâlu al-Muslimîn li Ramadhâna’, karya: `Athiyah bin Muhammad Salim (1/26). Dijelaskan bahwa, “Para salafus shalih enam bulan sebelum Ramadhan (terbiasa) memohon kepada Allah supaya bisa berjumpa Ramadhan.
Apabila (mereka) sudah menjumpai Ramadhan, mereka memohon agar diberi taufik serta dianugerahi kesungguhan dan semangat oleh-Nya. Apabila mereka telah menyempurnakannya, mereka memohon pada-Nya agar (amalan) enam bulan setelah Ramadhan bisa diterima. Sungguh Ramadhan tidak lama lagi akan menyapa kita.
Sudah sepatutnya kita mempersiapkan diri bagaimana menyambut, memuliakan, dan mengisi Ramadhan dengan sebaik-baik amal ibadah, amal sosial, dan beragam amal sholeh lainnya. Jangan sampai, tamu yang akan datang kita biarkan begitu saja, tanpa penyambutan, tanpa kebahagiaan, tanpa memuliakannya.
Sungguh itu tidak saja mengganggu kualitas iman kita, tetapi juga akan menjadikan diri kita kehilangan kesempatan emas yang amat berharga yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allahu a’lam.