Sebelum menikah, Marissa (sebut saja begitu namanya) dan calon suami telah sepakat berbagi peran dalam rumah tangga. Marissa, yang memangku jabatan penting di sebuah bank besar, memilih tetap bekerja setelah menikah, karena merasa berat hati meninggalkan karier. Sedangkan calon suami memilih bekerja paruh waktu dan tak keberatan mengambil peran mengurus rumah dan anak mereka kelak.
Di awal pernikahan, pembagian peran itu terasa lancar-lancar saja. Bahkan, suami Marissa terlihat sangat menikmati perannya mengurus rumah dan anak, setelah Marissa menghabiskan masa cuti melahirkan. Namun memasuki tahun ketiga pernikahan, saat Marissa tampak semakin sibuk dan tenggelam di dunia pekerjaannya – berangkat kerja pukul 6 pagi dan baru sampai rumah nyaris pukul 9 malam, rutin ke luar kota untuk meeting dengan klien –, situasi dingin pun menghantui rumah tangga mereka.
Suami Marissa tak lagi banyak bicara, atau menyambut Marissa pulang dengan bahagia. Setelah ditelusuri, rupanya suami merasa tertekan. Saat kawan-kawan lelaki di masa sekolah dulu telah mencapai kesuksesan dalam karier, suami Marissa masih saja bekerja paruh waktu. Penghasilannya pun harus diakui, masih jauh lebih rendah dibandingkan Marissa. Meski telah bersepakat dari awal, tapi kini tiba-tiba si suami merasa gengsinya terusik sangat.
Alih-alih membiarkan situasi dingin ini terus berlanjut, atau Marissa harus menunggu api pertengkaran berkobar dahsyat hingga membakar rumah tangganya? Menurut Agustina, sebenarnya tidak ada aturan resmi yang membahas pembagian peran di dalam kehidupan rumah tangga.
