Dalam salah satu karyanya, sastrawan asal Inggris, Shakespeare, pernah menulis, “Apalah arti sebuah nama.” Semasa saya kecil kalimat ini lumayan sering saya dengar. Dikatakan oleh orang-orang yang mau merendah soal arti nama diri atau nama produk buatannya.
Duduk di bangku SD pula saya baru memahami arti di balik nama Saraswaty yang saya miliki. Dalam ejaan berbeda, Saraswati adalah pasangan Dewa Brahma, sang dewa pencipta. Saraswati dipercaya sebagai dewi pengetahuan. Ia digambarkan bertangan empat yang masing-masing memegang alat musik, genitri, pustaka suci, dan bunga teratai.
Saya mungkin tidak terlalu paham dengan apa saja yang diwakili Dewi Saraswati dari simbolisasinya yang bertangan empat tadi. Tapi yang pasti, ada saja yang memahami sang dewi sebagai representasi perempuan cantik yang multitalenta dan multitasking.
Nah, bicara soal perempuan dan keharusan kita untuk multitasking, saya pribadi kurang sepakat. Sepanjang pengalaman saya, bisa melakukan seabrek hal dengan sempurna adalah mitos. Yang ada adalah shift-tasking, beralih dari mengerjakan 1 hal, ke hal yang lain. Tapi menjalaninya sekaligus rasanya nyaris mustahil.
Paling tidak itu diamini oleh teori defensive driving. Untuk berkendara dengan terampil, aman, dan santun, sebaiknya kita tidak menyetir sembari melakukan kegiatan lain. Misalnya, sambil menelepon, kirim pesan di grup WhatsApp, atau sembari berdandan. Sekalinya multitasking, yang ada malah menyambut bahaya.
Sedikit banyak itulah yang berusaha Nova bahas di edisi kali ini. Siapa sebetulnya yang bilang kalau perempuan harus multitasking? Apakah mengerjakan 1-2 hal bersamaan akan membuat pekerjaan kita jauh lebih ringan? Apakah fokus kita memang tak akan terpecah?
Ataukah salah satunya malah akan terkorbankan kualitasnya? Kenapa juga kita seperti diharuskan mengerjakan semuanya sendiri? Ya, multitasking sama sekali bukan kodrat perempuan seperti layaknya melahirkan atau menyusui.
Di mata saya, ia lebih merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh entah siapa untuk kepentingan entah apa. Dan yang jelas, setelah melalui berbagai pengalaman, saya tak mau lagi terjebak dalam bangunan pola pikir macam itu. Duh, kenapa jadi serius, ya? Eh, tapi sesekali, perlu lho. Agar besok-besok tak lagi cepat bilang ‘iya’ saat diwajibkan untuk bisa melakukan 1001w hal sekaligus.