Jemari kiri Heidi (3,5) begitu lincah menari di atas iPad. Sementara tangan kanannya memegang sendok makan. Kadang, masih dengan mulut setengah terisi makanan, ia berceloteh dalam bahasa Inggris mengikuti tayangan vlog yang ditontonnya. Marissa, sang ibu sepertinya tak masalah dengan tingkah sang putri ciliknya itu.
Bahkan, menurutnya, Heidi tergolong cerdas buat anak seusianya. Kelirukah yang diyakini Marissa? Bisa jadi tidak. Karena, anaknya yang lahir di tahun 2014 itu jjmenurut peneliti sosial Mark Crindle termasuk dalam generasi Alpha (Gen A). Salah satu ciri positif anak generasi ini sangat akrab dengan teknologi internet. Sehingga mereka terlihat canggih dan cerdas.
Jika Heidi dan teman-temannya yang Gen A (kelahiran 2011 sampai sekarang), terlihat lebih pintar, tentu tak aneh. Karena mereka bisa belajar banyak dari tayangan internet. Dari belajar bicara, membaca, menulis, bahkan menyanyi dan menari bisa didapat mereka dari vlog di YouTube dan semacamnya. Akan tetapi, sepertinya kita jangan hanya senang.
Karena, anak Gen A juga mudah terpapar dampak negatif dari teknologi yang diakrabi mereka. Menurut Mark Crindle, anak Gen A ditengarai berpotensi mengalami kesulitan mengembangkan hubungan sosial karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Sindroma Hikikomori. Dampak buruk internet, tentu belum begitu terasa bagi sebagian anak Gen A.
Namun, bagi kakak mereka, pengaruh negatif teknologi makin masif. Sebut saja, di Jepang, saat ini dikenal istilah “hikikomori”. Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial Jepang mendefinisikan Hikikomori sebagai orang yang tidak berpartisipasi dengan lingkungan sosial dan tidak berkeinginan untuk itu.
