Begitu tahu PR akan dihapus, si kecil langsung bersorak sorai bergembira. Tapi, ternyata tidak buat sebagian kita. “Rasanya memang sulit menggantikan peran PR. Butuh kesadaran yang tinggi agar si anak mau mengulang apa yang diajarkan di sekolah tanpa adanya PR,” tukas Ekki Rizkia (32), seorang ayah yang anaknya baru bersekolah di TK B.
Hal senada diungkapkan pula oleh Diana Tresty (36), ibu dari anak kelas 4 SD. “Anak lebih menguasai pelajaran karena sudah pernah mengerjakan PR.” Namun, sebagian kita pun justru sangat mendukung PR buat si kecil segera dihapus saja.
Akan tetapi, apa PR betul-betul dihapus? Ternyata tak juga, PR tetap ada namun jenisnya yang berubah. Tugas yang dibenci oleh anak sekolah di mana pun juga itu akan dibuat dengan format yang bisa membentuk karakter siswa.
“Yang perlu ditekankan bukan PR-nya yang dihapus, tetapi bentuk PR seperti apa yang bisa bermanfaat untuk perkembangan dan belajar siswa, serta seberapa sering dan sebanyak apa PR sebaiknya diberikan pada siswa. Hal ini tentu terkait dengan kebijakan pendidikan, termasuk kurikulum dan tujuan pembelajaran yang ada di negara kita,” papar psikolog Lara Fridani, dosen S1 Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Menurutnya, PR tetap penting diberikan selama PR itu bermanfaat sebagai latihan yang memotivasi siswa, bukan PR yang malah bikin anak menjadi jenuh. Bahkan, tambahnya, PR bisa meningkatkan kedekatan antara orangtua dan anak. Kok, bisa? Tentu bisa, PR bisa menjadi salah satu sarana untuk melibatkan orangtua dalam memantau perkembangan dan belajar anaknya.
Selain itu, menurut Lara yang mengambil S3-nya di jurusan Pendidikan Anak Monash University Melbourne, Australia, pada 2010, PR jangan melulu untuk individual, tapi juga melibatkan kelompok kecil dan memfasilitasi anak untuk mengenal lingkungan serta masyarakat di sekitarnya.
