Bagi saya, hal yang paling memilukan hati bulan ini adalah tragedi yang menimpa salah satu saudari kita, NW. Saya rasa Sahabat NOVA juga mengikuti rangkaian beritanya, termasuk tertarik membaca perkembangannya di rubrik “Peristiwa” minggu ini. Tambahan yang lebih miris adalah bagaimana ada pihakpihak yang berkomentar tanpa empati.
“Hal kayak gini, kan, enggak akan kejadian kalau mereka enggak suka sama suka.” “Kenapa harus laki-laki yang diedukasi? Perempuannya juga lah, biar enggak mengundang.” “Kalau enggak mau, ya kan tinggal ngomong aja.” I wish, it’s that simple Teorinya memang sederhana, tapi praktiknya jauh dari ‘tinggal ngomong aja’.
Pertama, perempuan yang jadi korban kekerasan akan kaget, bingung, takut. Kedua, takut itu menggunung berkat komentar tak pikir panjang macam tadi. Menyudutkan dan menyalahkan. Ketiga, malu, dan jadi mengubur trauma itu dalam-dalam. Dia jadi percaya kalau dialah yang salah dan jadi penyebab tragedi. Kalau pepatah bilang setan itu pembohong ulung yang cerdas dan kejam, maka situasi yang dialami perempuan korban kekerasan memang bak setan yang jahat. Sayangnya, juru selamat yang dinanti masih belum “datang”: RUU TPKS.
Kala ia datang, mungkin tidak 100% masalah lalu hilang. Tapi setidaknya kita, perempuan, punya keyakinan yang kuat bahwa kita berhak dibela, dipercaya, dimenangkan, dan dipulihkan dari semua kerugian serta sakit fisik dan psikis. Sahabat NOVA mungkin tak sedang bersiap merayakan Natal. Meski begitu, rasanya kita bisa sepakat bahwa apapun agama dan kepercayaan kita, kedatangan si juru selamat yang disebut di atas jelas kita nantikan. Semoga tak perlu tunggu Hari Ibu 2022.
Salam penuh harap, Indira Dhian Saraswaty