Kenapa Kita Enggan Cerita?
Kira-kira 20 tahun lalu, saya mendapati kalau salah satu anggota keluarga terdekat memutuskan bercerai karena si suami terlalu nyender sama orangtuanya.
Tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah), si suami menjalani hari-hari seakanakan belum menikah. Makan disiapkan ibunya, mobil dan pekerjaan mengandalkan bapaknya.
Pemicu perpisahan bukan dua hal tadi, sih. Tapi bahwa hampir semua keputusan yang harusnya didiskusikan dan diambil sebagai pasangan suami istri selalu dilakukan mertua.
Kapan mereka bercerai? Setelah masuk usia pernikahan ke-15 tahun. Setelah sang istri menjalani kemoterapi pertamanya. Kaget? Saya sih, iya. Enggak terbayang harus menahan diri dari cerita ke orang lain tentang rasa frustrasi yang dialami. “Enggak enak sama keluarga,” ceritanya baru-baru ini.
Hmm, gimana pendapat Sahabat NOVA? Masih banyakkah teman, anggota keluarga, rekan kerja perempuan di sekitarmu yang punya cerita serupa? Apa yang bisa kita lakukan? Menurut saya: Beri mereka ruang aman buat cerita.
Bisa semudah memberikan info bahwa NOVA punya halaman “Tanya Jawab Psikologi” yang selalu menerima curhatan. Seperti cerita minggu ini yang sedikit banyak mirip dengan kisah keluarga saya tadi.
Kalau punya cerita atau bahkan pertanyaan soal hal yang malu ditanyakan ke orang terdekat, bisa juga lo kirim email ke kami. Biar hal-hal yang tabu sekali pun bisa kita bahas bersama. Misalnya soal orgasme seperti yang ada di halaman “Anda dan Pasangan”.
Amit-amit, jangan sampailah kita sakit karena menahan emosi. Yuk, cerita-cerita. Sebagai sahabat, NOVA pun siap mendengarkan. Sebab sudah saatnya kita merdeka bercerita.
Peluk hangat,
Indira Dhian Saraswaty