Menyimpan Referensi
Di usia saya sekarang, banyak memori masa kecil yang masih lekat di ingatan. Ada memori indah, ada memori buruk. Ada satu memori berkaitan dengan kekerasan yang saya ingat. Waktu itu saya masih SMP dan ada perkelahian dengan sekolah tetangga. Saya ikut “menonton” perkelahian yang berubah jadi tawuran kecil itu.
Salah satu dari mereka ada yang membawa pisau, yang menyebabkan seragam putih mereka dipenuhi noda darah. Untuk ukuran saya waktu itu, pemandangan itu sangatlah mengerikan. Sampai saya masih mengingatnya di usia dewasa ini, tentu karena kejadian itu sangat membekas. Untungnya, tidak sering saya menyaksikan peristiwa seperti itu.
Tapi di hari ini, seorang anak mungkinmungkin saja setiap hari terpapar pemandangan kekerasan. Ya, melalui gawainya. Mendengar makian yang dilontarkan saat main game online, melihat cuplikan film dengan adegan kekerasan di saluran streaming, atau melihat konten dari akun-akun yang memang berfokus pada kekerasan, bukan lagi hal aneh.
Bayangkan, seorang anak yang berada dalam fase “mudah menyerap” berbagai hal, terpapar hal-hal tersebut setiap hari. Saya yang hanya sesekali melihat saja, menyimpan dengan baik di dalam memori. Bagaimana yang setiap hari? Mungkin bukan hanya menyimpan, tapi bisa memengaruhi pola pikir dan jadi referensi bagi perilakunya.
Bagaimana bila anak yang dalam pandangan kita masih imut dan lugu itu, tibatiba melakukan tindak kekerasan? Anda bisa membaca topik bahasan ini di ISU SPESIAL. Lalu, banyak orang bilang untuk mencegah hal itu, kita harus menjadi sahabat bagi anak kita. Benarkah? Bukannya dengan menjadi sahabat, mereka jadi kurang ajar pada kita? Perdebatan ini bisa Anda temukan jawabannya di rubrik Anda dan Anak.
Tapi, hati-hati juga bila terlalu memanjakan anak, jangan sampai saat dewasa nanti dia tidak bisa memisahkan diri dari orangtuanya, seperti curhat di Tanya Jawab Psikologi. Semoga dengan membacanya, Sahabat NOVA memiliki referensi yang baik dalam memutuskan banyak hal.
Salam hangat, Made Mardiani Kardha