Ikhtisar
Buku ini semula adalah esai-esai yang tersebar di Harian Umum Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Galamedia, dan almarhum Kompas Jawa Barat. Kepada Rahim Asyik, Cecep Burdansyah, Enton Supriyatna Sind, dan Dedi Muhtadi saya haturkan terimakasih. Mereka telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menafakuri kesundaan dan keislaman tanpa harus dikejar hantu aktualitas. Hikmahnya mungkin adalah kumpulan esai ini menjadi nampak sebuah buku. Gagasan-gagasan yang berkecenderungan pengulangan yang biasanya menjengkelkan tidak hanya saya sunting tapi juga digunting demi kepuasan pembaca. Seandainya masih ada sedikit pengulangan, tidak perlu su’uzhan, dan anggap saja sebagai penegasan.
Pendahuluan / Prolog
Prakata
Ada suatu fase ketika saya begitu bersemangat menulis tema kesundaan. Itu bukan sekadar karena secara geografis saya lahir di Sunda, berkomunikasi menggunakan bahasa ibu, tapi kemungkinan, sependek pengetahuan saya, ada banyak hal yang belum terungkapkan, terutama kaitan Islam dengan Sunda. Begitu sedikit rujukan yang mempercakapkan hubungan keduanya. “Islam-Sunda dan Sunda-Islam” nyaris menjadi sebuah jargon yang konon harus diucapkan dalam satu helaan nafas tanpa ada ikhtiar memeriksanya kembali. Akibatnya, alih-alih melahirkan pembahasan utuh, yang terjadi seringkali menjadi ungkapan apologetis, dan selebihnya adalah semangat pendakuan dalam takaran berlebihan dan kesimpulan terburu-buru.
Bagi saya, hal ini penting dipertanyakan dan/atau ditafsirkan ulang. Hasilnya bisa jadi akan memunculkan kesangsian baru dan tidak mustahil akan semakin menebalkan keyakinan lama, atau berujung pada pertanyaan lain yang tak pernah selesai dan tidak perlu selesai dijawab.
Ini jauh lebih sahih ketimbang begitu saja menerima pernyataan yang belum teruji kebenarannya. Persoalan Sunda dan Islam luas cakupannya,
terbentang nyaris minal-masyriq ilal-maghrib, dari yang mistis sampai logis. Hubungannya seperti tubuh dan kalangkang (bayangan). Wujud nyata dan pantulan bayangannya dapat bertukar tempat. Terkadang bayangan ada di muka, dan kali lain, ada di belakang atau sejajar. Hal ini kemudian melahirkan tipologi mulai dari mazhab puritan, liberal, dan yang tak peduli lagi dengan segenap urusan identitas kesukuan dan keagamaan. Seringkali semuanya bergerak acak tak ubahnya ngudagngudag kalangkang heulang.
Kebenaran Islam dan Sunda hanya ada dalam isi kepala, dan antara normativitas dan historisitas ada jarak yang lebar. Ada juga yang menariknya ke dalam konteks aksiologis, bahwa Sunda dan Islam memiliki irisan takdir yang tidak jauh berbeda: menyimbolkan peradaban yang tengah terpuruk.
Sunda juga, dalam lintasan aras politik keagamaan, telah mengalami sejarah panjang, bahkan adakalanya diriwayatkan dalam narasi serba getir. Sunda dan Islam dianggap penting, namun juga sekaligus genting.
Relasinya kadang tenang, tapi pernah juga tegang; terkadang karib, tapi acapkali garib. Apalagi Sunda dan Islam sangat menyukai hal-hal gaib.
Al-Muntazhar (mesias) bukan hanya bagian dari keyakinan orang Syi'ah, sebagaimana kaum Sunni mengimani kebangkitan Al-Mahdi yang dinanti (Al-Masîh), namun juga tidak sedikit orang Sunda yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi selama ini tengah ngahiang.
Sunda menjadi kawasan “tak bertuan” dan “tanah yang dijanjikan” yang konon dibuat ketika Tuhan tersenyum. Di tempat ini, kaum agamawan begitu gencar mempromosikan pahamnya sekaligus medan kerumunan politisi mendagangkan partainya sebagai parameter politik nasional.
Kesimpulan sementaranya ternyata di Jazirah Sunda tidak ada ormas dan partai yang dominan. Mayarakat Sunda seperti sedang berladang di huma; datang dan pergi, dipilih dan dicampakkan, tanpa merasa harus terus dikenang apalagi sampai ideologi dan pemahaman itu menghunjam dalam palung sukma manusia Sunda. Tidak ada. Dalam falsafah kekayaan batin Si Kabayan, teu nanaon ku nanaon.
Ingatan masa silam diaktifkan kembali, bukan untuk diterapkan secara jumud, tapi sekadar lewat begitu saja atau diinterpretasikan sesuai elan zamannya. Cag teundeun di handeuleum sieum/tunda di hanjuang.
siang/paranti nyokot ninggalkeun. Kalau hari ini radikalisme keagamaan seolah mendapat sambutan gempita di Jawa Barat, ini pemandangan anomali saja karena sebenarnya bertentangan dengan hakikat agama, khittah budaya Sunda, dan akal sehat. Tapi juga persoalan ini tetap harus diwaspadai, sehingga saya merasa penting mengulasnya dalam buku ini.
Palangsiang orang Sunda sedang berdiri di persimpangan jalan.
Buku ini semula adalah esai-esai yang tersebar di Harian Umum Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Galamedia, dan almarhum Kompas Jawa Barat. Kepada Rahim Asyik, Cecep Burdansyah, Enton Supriyatna Sind, dan Dedi Muhtadi saya haturkan terimakasih. Mereka telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menafakuri kesundaan dan keislaman tanpa harus dikejar hantu aktualitas. Hikmahnya mungkin adalah kumpulan esai ini menjadi nampak sebuah buku. Gagasan-gagasan yang berkecenderungan pengulangan yang biasanya menjengkelkan tidak hanya saya sunting tapi juga digunting demi kepuasan pembaca. Seandainya masih ada sedikit pengulangan, tidak perlu su’uzhan, dan anggap saja sebagai penegasan.
Sengaja juga puisi-puisi Haji Hasan Mustapa (HHM) banyak dihadirkan, karena bagi saya, Bujangga Sirna di Rasa itu telah berhasil meretas jalan secara kuat, paradigmatik, dan penuh tanggungjawab dalam ngadumaniskeun Islam dan Sunda sampai hubungan keduanya seperti gula dan manisnya (gula jeung peueutna) lewat puisi kuno tanpa kehilangan kedalaman spiritualitasnya dan rasa humor-humanitasnya yang tinggi.
Keislaman dan kesundaan dijangkarkan di atas haluan al-hikmah alkhâlidah untuk membangun kebaikan bersama.
Semoga buku ini memberikan rangsangan bagi tumbuhnya diskusi sehat dan pemikiran-pemikiran yang lebih dalam dan terbuka terutama seputar wacana keislaman, kesundaan (dan keindonesiaan).
Tentu ada banyak lembaga yang harus mendapatkan ucapan terimakasih. Sebut saja IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, UIN Sunan Gunung Djati, Pesantren Pulosari Garut, Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas, Forum Diskusi Lintas Batas Bandung dan Lakpesdam PWNU Jawa Barat. Di lembaga-lembaga itu, tema kesundaan-keislaman didiskusikan penuh minat.
Kepada Profesor Didi Turmudzi yang telah memberikan kata pengantar, saya haturkan terimakasih. Juga kepada rekan-rekan di Penerbit Nuansa, Mas Taufan Hidayat, yang telah memungkinkan buku ini terbit.
Akhirnya, selamat membaca. Semoga keberkahan senantiasa menyertai kita.
Bandung, Agustus 2017
Penulis
Daftar Isi
Sampul
Kata mereka
Pengantar
Prakata
Daftar Isi
Suluk Sunda
Siloka Suluk Sunda
Pasulukan Siliwangi
Suluk Sangkuriang
Suluk Hasan Mustapa
Suluk Sunda "Purnama Alam"
Visi Metafisika Sunda
Religiositas Sunda
Religiositas Sunda dalam Guguritan
Spiritualisme Lutung Kasarung
Spiritualisme Purbajati
Religiositas Cinta Kakawihan Sunda
Spiritualisme "Sasapian"
Tapa Sunda di Mandala
Ayat-Ayat Perempuan dalam Literasi Sunda
Rukun Jeprut
Rawayan Si Kabayan
Konsep DiriSi Kabayan
Si Kabayandan Falsafah "Teu Nanaon Ku Nanaon"
Si Kabayan dan Sunda "Durangduraring"
Si KabayanManusia Setengah Dewa
Religiositas HumorSi Kabayan
Si KabayanMencari Kebenaran
Jalan KesadaranSi Kabayan
Si Kabayansebagai Sufi
Nalar KeterpaduanSi Kabayan
TransendensiSi Kabayan
Sabilulungan
Etika Sunda
Tanjakan Maraga Cinta
Nalar "Babalik Pikir"
Etos Kerja Ki Sunda
Élmu dalam Tradisi Sunda
Mencari "Kaaingan"Ki Sunda
Bébér Layar Purbajati
Nalar Sangkuriang dan Sunda Ngarangrangan
Filsafat Islam-Sunda
Sufisme Sunda, bukan Islam-Sunda, Sunda-Islam
Takdir Sunda dan Islam
Nyantri, Nyakola, Nyunda
Tragedi di dalam Sensitivitas Mang Koko
Melacak Akar Intoleransi di Jawa Barat
Sunda dan Deradikalisasi Agama
Cipasung, Sundadan Ijtima Ulama
Semiotika Tarekat Suryalaya
Filsafat Sunda Purbajati
Menyoal Tafsir Sunda
Nilai Kejujuran dalam Budaya Sunda
Orientalisme Haji dan Aristokrasi Santri Sunda
Lokasi Kultural Sunda
Sunda, Pesantren dan Islam Nusantara
Strategi Kebudayaan Pesantren
Menjadi Santri
Islam KulturalGunung Djati
NU dan Religiositas Politik Kenegaraan
NU Sunda Islam Nusantara
NU, Sundadan Cimenyan
NasionalismeKaum Tarekat
Ekologi Sunda
Dari Sunda ke Capra
"Kila-Kila" Alam Sunda
Tanah Sunda "Burakrakan"
Ayat EkologiLutung Kasarung
Sunda dan Kosmologi Niskala
Sunda dan "Tanah yang Dijanjikan"
Puasa di Tatar Sunda
Spiritualitas Munggahan
Ritual Kultural Ngabuburit
Puasa dan "Tirakat" Sunda
Puasa dan "Haripeut Ku Teuteureuyeun"
Tarawéh, Tara Sawaréh
Malem Lilikuran
Imaji Kultural "Seribu Bulan"
Atmosfer Manggih Lebaran
Oksigen Lebaran
Kembali ke Akar
Levi Ketupat Idul Fitri
Ritual Kultural Mudik Lebaran
Ritus "Riung Mungpulung"
Idul FitriRawayan Sabilulungan
Idul Fitri dan "Kaluluputan Diri"
Daya KulturalHalal bi Halal
Tafsir Upacara Islam-Sunda
Mi'raj dalam Tradisi Sunda
Mi'raj Mundinglaya Sunten Jaya
Antara "Jati" dan "Junti"
Rawayan Anuning Ning
Tahun BaruNgindung ka Waktu
Dalam Nafas Tritangtu
Daftar Pustaka
Indeks
Tentang Penulis