Top Executive
DUA ‘tahun politik’ yang panjang, 2018 dan 2019, menemukan titik kulminasinya 17 April ini. Suksesi nasional kali ini berlangsung serempak. Baik eksekutif puncak (Presiden dan Wakil Presiden), maupun legislatif (DPR RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota; dan DPD RI). Pada hari Rabu itu, warga negara RI memasuki bilik-bilik suara untuk mencoblos. Menentukan lima figur via 5 macam kertas niscaya bikin bingung. Urusannya tak kalah runyam bagi pihak penyelenggara.
Bagi rakyat banyak, jelas tak mudah memilih wakil dari 20 partai politik peserta pemilu. Sebaran baliho para caleg di seantero negeri ini—dari yang berbayar hingga yang mejeng di jalan-jalan kecil, pohon-pohon, dan tempat apa pun yang dapat ditempeli—mungkin membantu. Mungkin membingungkan. Di sana sini caleg gelar temu muka dalam silaturahim sekonyong-konyong. Ada yang nekat tebar janji. Apa pun itu, karena Pileg serentak dengan Pilpres, jualan caleg jadi seakan parade juru sorak.
Bagi rakyat banyak, Rabu 17 April seakan jadi peristiwa tunggal 5 tahunan, yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Peristiwa itu memiliki magnitude besar karena yang bertarung mendapatkan mandat RI-1 2019-2024 adalah sosok yang sama: Joko Widodo (incumbent) versus Prabowo Subianto (challenger); plus calon wakil bersarung dengan usia senjakala versus figur tampan, smart, tawadhu, santun dan tajir mlintir. Lalu, aroma sengit ketidaknetralan pihak Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan polisi mengundang (dan memastikan) hadirnya pemantau independen internasional.
Bagi rakyat banyak, janji-janji politik para kandidat adalah piutang yang harus dibayar lunas dalam 5 tahun masa pemerintahan. Sebuah rezim pada hakikatnya nothing jika hanya fasih umbar janji, nihil bukti. Dusta politik merupakan legacy yang memalukan ketika coba ‘dibayar’ dengan rentetan dusta baru (bohong lanjutan). Akal sehat mengajarkan bahwa suksesi adalah momentum untuk memperbarui harapan, menghibahkan mandat kepada figur dengan kapasitas dan kapabilitas negarawan. Bukan sosok karbitan dan mainan.
Bagi rakyat banyak, ini ajang pemilihan langsung Presiden-Wapres yang keempat, setelah dua periode era Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo 2014-2019. Lima Presiden RI sebelumnya—dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrachman Wahid, hingga Megawati—dipilih dengan cara tak langsung. Maka, Rabu medio April, ‘pengadilan’ siapa yang berhak menjadi eksekutif puncak republik ini akan ditentukan oleh 192 juta hak suara. Rakyat sebagai pemilik sejati demokrasi.
Di mana pun hajat demokrasi dipergelarkan, tak ada yang luar biasa dalam peristiwa Pilpres. Demokrasi mengisyaratkan limitasi dan uji legitimasi yang demikian. Petahana perlu mandat baru untuk tetap bertahan. Sedangkan penantang harus menggusur personel status quo dengan suara minimal 50% + 1. Lagipula, bukankah ‘keterbelahan’ rakyat cenderung dipelihara penguasa sejak 2014?
Salam, Irsyad Muchtar