Ahimsa. Lelaki itu masih sempat memberi salam, lalu membungkuk di kaki Gandhi, sejurus kemudian dia muntahkan peluru ke tubuh tokoh besar India itu di jarak dua meter. “Tuhanku…Tuhanku..Tuhanku.” keluh Gandhi sebelum tubuhnya terkulai bermandikan darah. Di hari naas itu, 30 Januari 1948 rakyat India meratapi kepergian sang pencerah.
Nathuram Godse, pembunuh berwajah dingin itu sama sekali tak menyesal. Aktivitis nasionalis Hindu garis keras itu malah bangga, telah menyelesaikan tugas sucinya menghabisi orang yang dianggap memecah belah rakyat India. Di tahun 1947 sepekan setelah menerima kedaulatan dari Inggris, India menghadapi dilema yang lain. Para pemimpin di negeri baru merdeka itu mengalami pecah kongsi soal hak beragama. Lalu lahirlah Pakistan, representasi wilayah bagi kaum muslim India. Hindu garis keras meradang, Gandhi dinilai bertanggungjawab atas perpecahan itu.
Di tengah perjuangan panjang melawan penindasan tanpa kekerasan (ahimsa), ironisnya Gandhi tewas dengan tindak kekerasan. Di tangan rakyatnya sendiri. Ia yang semula percaya bahwa manusia dari segala suku, ras dan agama layak hidup berdampingan. Tetapi fakta menunjukkan lain, berondongan peluru dari pistol semi-otomatis Beretta ke tubuh Gandhi membuka mata kita, tindak kekerasan atau radikalisme sering kali muncul karena perbedaan, bahkan subur di lahan agama dan kesukuan.
Ketidakadilan sudah dialami Gandhi, saat bekerja di Afrika Selatan. Di tahun pertama karirnya sebagai pengacara, ia sudah dihadapkan pada politik apartheid yang bengis, yang melihat perbedaan warna kulit sebagai status sosial. Sepeti virus Ku Klux Kan, gerakan yang mengagungkan supremasi kulit putih di Amerika, tak cuma anti kulit hitam juga anti Katolik. Kendati berprofesi pengacara dengan fesyen ala Eropa namun ia tak luput dari diskriminasi lantaran warna kulitnya, hitam. Kita masih ingat dengan cerita klasik tentang rasisme itu, ketika Gandhi diseret dan dilempar secara paksa dari kereta di Pietermaritzburg. Ia dipandang tidak pantas naik kereta kelas eksekutif itu yang khusus bagi orang-orang eropa kulit putih.
Penguasa Afrika Selatan mempekerjakan imigran India sekadar buruh kasar alias coolie. Gandhi mengalami bagaimana warga India hanya setara dengan kaum budak. Sarjana hukum jebolan Inggris ini lalu menggantung toga dan masuk ke jalur politik, berjuang di arena lebih luas untuk memerangi ketidakadilan dan membela haknya sebagai seorang India sekaligus sebagai manusia.
Ketika didaulat memimpin gerakan kemerdekaan India, revolusi Gandhi menghindari jalan darah. Ahimsa, tanpa kekerasan, tanpa menyerang dan tanpa melukai. Sikap yang kala itu dibilang konyol. Tetapi ia bisa membuktikan saat menggelar Pawai Dandi pada Maret 1930, penentangan pajak tanpa kekerasan melawan monopoli garam kolonial Inggris. Sinisme terhadap Gandhi dilontarkan oleh Winston Churchil “Naked Fakir” Seorang pengacara fakir dengan badan setengah-telanjang.
Tentu saja Gandhi mengenal Trotsky dan menyimak habis bacaan tentang jalanya revolusi Bolshevik 1917 di Rusia. Tetapi ia tak ikut larut dalam revolusi garis keras yang melahirkan negara komunis terbesar di dunia itu. Bagi kaum Bolshevik, sebuah perubahan harus dimenangkan dengan senjata. Dan kata Gandhi, perlawanan terhadap kekerasan hanya dilawan dengan tidak melakukan kekerasan.
Apakah ajaran satyagraha, ahimsa dan swadesi Gandhi masih tetap relevan di tengah kecamuk dunia yang kian panas ini. Atau akankah ia hanya bakal tinggal pedoman moral saja yang tergantung di rak-rak buku perpustakaan sejarah. Yang pasti seperti dikatakan Einstein, kelak para generasi berikut akan sulit mempercayai bahwa ada orang seperti Gandhi yang pernah hidup di dunia ini. Mungkin. (Irsyad Muchtar)