Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Krisis Kebebasan

1 Pembaca
Rp 60.000 30%
Rp 42.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 126.000 13%
Rp 36.400 /orang
Rp 109.200

5 Pembaca
Rp 210.000 20%
Rp 33.600 /orang
Rp 168.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Kebebasan bagi Albert Camus bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dengan ini Albert Camus ingin menegaskan bahwa dalam rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif, kita jangan bermimpi akan memperoleh kebebasan secara cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus diperjuangkan. Sayangnya lebih sering penguasa menindas kebebasan tersebut, sehingga cendekiawan, seniman, dan pers yang diandalkan adalah kelompok paling depan dalam memperjuangkan kebebasan pun akan menjadi bungkam. Inilah yang menimbulkan krisis kebebasan.

Buku ini berisi kumpulan karangan Albert Camus yang bertemakan kebebasan dan krisis yang melanda manusia dalam memperjuangkan kebebasannya. Karangan-karangan di dalam buku ini merupakan renungan yang sangat mendalam akan krisis kebebasan yang melanda zaman kita ini. Lewat karangan-karangan ini kita digugah untuk memperjuangkan kebebasan tersebut, kalau kita tidak ingin krisis melanda kita. Sebuah buku yang sangat patut dibaca oleh para cendekiawan, seniman, wartawan, politisi. Pendeknya semua pembaca yang berhak atas kebebasan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Albert Camus

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024331603
Terbit: Desember 2020 , 192 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Kebebasan bagi Albert Camus bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dengan ini Albert Camus ingin menegaskan bahwa dalam rezim apapun, apalagi yang paling totaliter dan represif, kita jangan bermimpi akan memperoleh kebebasan secara cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus diperjuangkan. Sayangnya lebih sering penguasa menindas kebebasan tersebut, sehingga cendekiawan, seniman, dan pers yang diandalkan adalah kelompok paling depan dalam memperjuangkan kebebasan pun akan menjadi bungkam. Inilah yang menimbulkan krisis kebebasan.

Buku ini berisi kumpulan karangan Albert Camus yang bertemakan kebebasan dan krisis yang melanda manusia dalam memperjuangkan kebebasannya. Karangan-karangan di dalam buku ini merupakan renungan yang sangat mendalam akan krisis kebebasan yang melanda zaman kita ini. Lewat karangan-karangan ini kita digugah untuk memperjuangkan kebebasan tersebut, kalau kita tidak ingin krisis melanda kita. Sebuah buku yang sangat patut dibaca oleh para cendekiawan, seniman, wartawan, politisi. Pendeknya semua pembaca yang berhak atas kebebasan.

Pendahuluan / Prolog

Gamus dan Orang Indonesia
Albert Camus seperti punya sihir tersendiri bagi para penulis Indonesia. Agak aneh, memang. Dia tak pernah mengutarakan problem yang layaknya jadi persoalan orang banyak di sini. Dia bukan seorang pemikir dan sastrawan yang setiap hari berpapasan dengan gelora dan keterpojokan manusia Dunia Ketiga, kecuali persentuhannya yang malang dengan situasi kolonial Aljazair.

Dia barangkali bahkan termasuk rentetan penulis Eropa Barat terutama Perancis yang oleh sementara cendekiawan Indonesia dianggap bukan sebagai ilham yang tepat atau sehat: ia bagian dari suara sebuah benua tua. Meskipun Camus sendiri lebih mengindetifikasikan diri sebagai bagian dari alam Laut Tengah yang lebih mentah dan lazuardi, dan ia tak pernah ingin melepaskan akarnya di Aljazair, pandangan filsafatnya terkadang dianggap sebagai salah satu suara yang datang dari geografi yang lain: peta yang memperlihatkan begitu banyak gores-gores sejarah. Dengan kata lain, sebuah suara yang telah menjadi terlampau bijaksana. Dan bijaksana, di sini, juga berarti reda dari sekian derajat optimisme yang biasanya memang meleset, tapi bagaimanapun dianggap perlu buat sebuah bangsa yang baru.

Saya tak tahu pasti melalui mana dan bila persisnya Camus datang ke Jakarta. Di bulan April 1954, majalah kebudayaan yang terkemuka di Jakarta waktu itu, Zenith, memuat tulisan Jan Lamaire Jr. yang memperkenalkan pemikiran Camus. Tapi saat itu pun nampaknya nama Camus sudah cukup dikenal dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya diminati.

Tiga puluh empat tahun yang lalu itu (dan tiga puluh empat tahun yang lalu Albert Camus masih hidup di Paris), Lamaire, seorang penulis Belanda yang sering memperkenalkan para pemikir Eropa itu mengatakan bahwa “telah terbukti” perhatian orang di Indonesia terhadap Camus “sangat banyak”.

Saya ingat ketika Asrul Sani berkunjung ke Eropa di tahun 1950- an. Dari sana ia menulis sepucuk surat yang dimuat dalam sebuah majalah kebudayaan saya tak ingat pasti: mungkin Zenith tentang apa yang dialaminya. Ia pun menyebut Camus. Seingat saya, ia menamakan orang Perancis ini orang yang “berbahaya”, karena menulis begitu bagus dan membuat kita terpesona. Kemudian Asrul Sani menerjemahkan, dengan indah sekali, lakon Camus yang di Indonesia menjadi sangat terkenal itu, Caligula.

Tapi pesona Camus barangkali tidak cuma dari situ. Pesona Camus merupakan bagian saja dari pesona kepada Perancis, dan khususnya Paris. Eropa, bagaimanapun juga, di masa itu, tetapi sebuah metropolis tempat orang-orang yang merasa dirinya berada di wilayah “pinggiran” memandang untuk mendapatkan inspirasi, termasuk dalam bidang pemikiran. Pengaruh Eropa itu, pada umumnya, justru merupakan ekspresi keinginan mengetengahkan diri itu: cendekiawan Indonesia hendak menjadikan dirinya sebagai bagian yang sah dari “kebudayaan dunia”, atau juga sebagai bagian dari gerak dan gejala internasional. Di tahun 1940-an itu, masa setelah proklamasi kemerdekaan, kemudian setelah Indonesia diterima sebagai anggota PBB, kita bukan lagi merasa terpisah dari dunia luar kita. Kita bukan lagi unsur tersembunyi yang selama beberapa abad yang lampau dibungkam.

Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Gamus dan Orang Indonesia
Bab I: Surat Kepada Seorang Teman Dari Jerman
     Surat Pertama
     Surat Kedua
     Surat Ketiga
     Surat Keempat
Bab II: Menghormati Sebuah Pengasingan
Bab III: Sosialisme Tiang Gantungan
Bab IV: Sang Pembelot
Bab V: Taruhan Generasi Kita
Bab VI: Seniman dan Zamannya
Bab VII: Berkarya Dalam Bahaya
Bab VIII: Pangan dan Kebebasan
Bab IX: Merenungkan Gilotin